Minggu, 14 Maret 2010

Fanfic - Reinkarnasi BiDeok - Scene 6

Scene 6

*Bi Dam : Kim Nam Gil *Deokman : Lee Yo Won
*Mi Shil : GoHyun Jung *Se Jong : Go Young Jae
*Yoo Shin : Uhm Tae Wong *Cheon Myeong : Park Ye Jin
*Moon No : Jung Ho Bin *Chil Sook : Park Kil Kang
*Sohwa : Park Young Hee *Yong Soo : Park Jung Chul
*Alcheon : Lee Seung Hyo *Bo Jong : Go Do Bin
*Ha Jong : Go Jung Hyun *Go Do : Ryu Dam
*Yeom Jong : (tetap nama di QSD)

------------------------------------------------------------------------------

- Kim Nam Gil - 3 September 2010 -

Di dalam bus aku dan Do Bin duduk berjauhan. Dia kesal padaku karena kabur bersama Tae Wong dan si gadis baru. Di wajahnya ada luka-luka yang menjadi bukti perkelahiannya kemarin. Selain karena aku meninggalkannya, dia juga kesal karena ditangkap polisi dan saat dia memintaku mengeluarkannya, aku menelepon Ibu untuk meminta bantuan. Semalam dia dimarahi Ibu dan Go Young Jae yang sekarang juga menyita motornya. Begitulah, tanpa kendaraan pribadi, terpaksa kami berdua pergi ke sekolah menggunakan bus.

Hah… aku jadi teringat pada ekspresi mengejek Jung Hyun tadi, saat dia dengan sombongnya memasuki BMW Convertiblenya untuk pergi kuliah. Sial.

Kusandarkan kepalaku di jendela dan menutup mata. Mimpi semalam masih mengganggu pikiranku. Dalam mimpi itu aku dipeluk seorang wanita berpakaian perang dengan sangat hangat. Aku ingat itu adalah mimpi yang pernah kudapat saat masih kecil dulu. Sesaat sebelum aku terbangun di rumah Ibu. Saat itu aku sempat berpikir wanita itu adalah ibu kandungku, tapi ternyata… yah, sekarang aku mengenali wajahnya. Wanita itu adalah wanita yang muncul dalam kilasan pengelihatanku kemarin di sekolah. Dia wanita yang sangat mirip dengan si gadis baru, hanya saja wanita dalam mimpi dan kilasan pengelihatanku itu terlihat lebih dewasa dibanding si gadis baru sekarang.

Kenapa wanita itu terus muncul tak hanya dalam mimpi, tapi juga di benakku saat aku sedang bangun? Siapa dia? Apa hubungannya dengan si gadis baru? Apa hubungan mereka denganku?

“Hei!” Yeom Jong menghempaskan diri di kursi di sebelahku. “Kudengar ada perkelahian seru kemarin? Benarkah? Dan kau tidak membawaku?”

Aku meliriknya kesal. Dia murid kelas tiga seperti Do Bin—umurnya sudah dua puluh tahun—tapi tidak naik kelas beberapa kali. Dia juga satu klub taekwondo denganku di sekolah dan awalnya dia memusuhiku karena aku menjadi murid favorit guru taekwondo kami, Jung Ho Bin. Tapi setelah kukalahkan berkali-kali, dia jadi bertingkah sok akrab dan menjilat. Aku tidak suka padanya, tapi terkadang dia bisa jadi sangat berguna. Dia punya banyak anak buah karena menurut gossip yang beredar, pamannya seorang mafia. Entah itu benar atau hanya bualannya agar banyak yang takut padanya. Yang pasti, sekarang aku sedang tak ingin diganggunya.

“Tak ada urusannya denganmu,” sahutku ketus.

Yeom Jong tertawa sumbang. “Ayolah, jangan kasar begitu. Kita teman, kan?”

Dia semakin menyebalkan saja. Untungnya aku tak perlu menanggapinya karena bus sudah sampai di halte dekat sekolahku. Tanpa meliriknya sedikitpun, aku langsung keluar. Dengan langkah sedikit terburu-buru aku menuju sekolah. Bukan karena takut terlambat—jelas tidak, karena hari ini aku datang tepat waktu—tapi karena dorongan hati ingin cepat sampai di kelas untuk bertemu si gadis baru. Namanya… kemarin dia menyebutkan namanya… siapa ya…? Ah, ya, Lee Yo Won. Yo Won… Yo Won… aku menyeringai geli menertawakan diri sendiri. Kenapa mengingat namanya saja aku jadi senang begini?

“Nam Gil!” Kudengar seseorang meneriakiku. Di depan gerbang sekolah aku berdiri diam mencari sumber suara itu. Kulihat seorang pria bersetelan jas keluar dari sebuah mobil jaguar yang terparkir tak jauh dari depan gerbang.

“Kak Jung Chul!?” seruku tak percaya. Terakhir kali aku melihatnya adalah saat usiaku sebelas tahun. Saat itu dia akan berangkat kuliah ke Amerika.

Kak Jung Chul tersenyum lebar. “Hai, dik, lama tak jumpa,” sapanya.

Aku masih terdiam tak percaya saat dia mendekat, kemudian merangkulku. Dari sudut mataku kulihat Do Bin dan Yeom Jong memperhatikan kami, tapi aku tak perduli. Aku benar-benar terkejut melihat kakak. “Kau pulang? Bukankah dulu di telepon kau mengatakan tak akan pulang karena bekerja di sana?”

Senyum di wajah kakak memudar. “Yah, ya… aku memang bekerja di firma hukum di Amerika,” jawabnya. “aku pulang minggu lalu. Ibu sakit parah dan meninggal,” lanjutnya dengan sedih.

Aku tak tahu harus bersikap bagaimana. Aku tidak bisa berpura-pura sedih dan kehilangan wanita yang sempat kuanggap ibu hingga usiaku enam tahun, tapi selalu menyiksaku setiap kali dia punya kesempatan. Walau begitu aku ikut bersimpati dengan rasa kehilangan kakak. Selama ini kakak bersikap cukup baik padaku. Kami memang tidak terlalu dekat karena perbedaan usia kami yang cukup jauh, tapi dia satu-satunya orang yang cukup perduli padaku saat dulu kami tinggal bersama. Bahkan setelah dia tinggal di Amerika pun, terkadang dia menyempatkan diri meneleponku.

“Aku ikut berduka untukmu,” kataku jujur.

Kak Jung Chul tersenyum masam. “Aku tahu kau membencinya. Aku tidak menyalahkanmu. Apalagi peristiwa terakhir itu… aku minta maaf,” katanya tulus. “Aku tidak mengerti bagaimana ibu yang begitu baik dan penyayang bisa bertindak sangat kejam padamu.”

“Dia menyayangimu karena kau putra satu-satunya. Dia membenciku karena aku putra hasil perselingkuhan suaminya. Itu kenyataannya,” kataku dengan nada pahit.

Kak Jung Chul menumpangkan tangannya di pundakku. “Atas nama Ibu aku meminta maaf padamu. Kurasa dia pun akhirnya menyesali perbuatannya padamu,” katanya sedih. “Sudahlah, tidak usah bicarakan itu. tujuanku kemari adalah untuk mengajakmu pulanglah ke rumah. Ayah membutuhkanmu. Dia semakin tua dan sakit-sakitan, sedangkan aku tak dapat kembali ke Korea hingga beberapa tahun lagi, hingga kontrak kerjaku di Amerika selesai. Pulanglah. Temani dia. Kumohon,” pintanya.

Aku membuang muka sambil mendengus tak sopan. Ayah membutuhkanku? Yang benar saja. Semenjak peristiwa pemukulan istrinya, dan kemudian membawaku ke rumah ibu kandungku, aku tak pernah lagi melihatnya. Aku beberapa kali bertemu kak Jung Chul, tapi tidak dengan Ayah. Dia tak berminat mengunjungiku, juga selalu sibuk bila aku menelepon atau mendatangi kantornya. Aku, putranya, anak haramnya, tak berarti sama sekali baginya. Dia tidak membutuhkanku.

“Aku tahu kau masih marah padanya, tapi pikirkanlah ini. Pulanglah ke rumah. Rumahmu sendiri. Tempatmu sekarang adalah rumah ayah tirimu. Kau akan jauh lebih bahagia di rumah kita,” katanya. Kak Jung Chul melirik jam tangannya. “Aku ada janji dengan temanku. Aku harus pergi. ingat, pikirkan yang kuminta, Nam Gil. Sampai jumpa— ah, astaga, maaf,” katanya pada seorang gadis yang ditabraknya saat dia buru-buru berbalik.

Gadis itu terdorong hingga terjatuh, dan kak Jung Chul segera membantunya berdiri. Anehnya, kemudian kedua orang itu terus berpegangan tangan dan bertatapan tanpa bergerak ataupun bersuara sedikitpun. Mereka terlihat… hah… lucu sekali. Yah, kakak dan gadis itu terlihat seperti aku dan si gadis baru saat pertama kali bertemu.

“Kakak! Kakak tidak apa-apa!?” seru Lee Yo Won panik. Gadis itu berlari mendatangi gadis yang ditabrak kak Jung Chul. Oh, jadi rupanya gadis itu saudara Lee Yo Won?

“Maaf,” gumam kak Jung Chul setelah akhirnya sadar. “Kau tidak apa-apa, kan?”

Wajah kakak perempuan Lee Yo Won terlihat merona merah. Dia menggeleng cepat. “Tidak, tidak. Aku tidak apa-apa.”

Kak Jung Chul tersenyum. “Baiklah kalau begitu, permisi,” katanya. “Aku akan menghubungimu nanti,” tambahnya, yang ditujukan padaku.

Lee Yo Won menatapku, dan dadaku kembali berdebar-debar hingga terasa agak menyakitkan. Berusaha bersikap normal, aku menyunggingkan senyum jailku padanya, lalu berjalan memasuki gerbang sekolah.



Yang mengejutkan, ternyata kakak perempuan Lee Yo Won juga sekelas dengan kami. Dan yang lebih aneh, marga mereka berbeda. Nama gadis itu Park Ye Jin. Mungkin mereka hanya teman akrab dan karena Park Ye Jin sedikit lebih tua dari Lee Yo Won, maka dia dipanggil kakak.

Tadinya kupikir Lee Yo Won akan pindah duduk di sebelahku karena Park Ye Jin menduduki kursi di sebelah Ryu Dam, tapi ternyata Lee Yo Won malah memaksa si gendut itu pindah ke sebelahku. Jujur saja aku jadi agak kesal padanya. Kenapa dia tidak mau duduk di dekatku? Apa dia menganggapku virus mematikan? Apa dia tidak menyukaiku karena aku suka berkelahi? Karena apa? Dan yang lebih menyebalkan adalah diriku sendiri. Kenapa aku harus memusingkan dia benci padaku atau tidak? Biarkan saja gadis itu berbuat sesukanya. Kalau gadis itu ingin menjauhiku, aku juga akan menjauhinya. Itu lebih baik.



Karena sudah membuat keputusan menghindari Lee Yo Won, maka tak heran bila kekesalanku meningkat saat pulang sekolah dan memulai latihan di ruang klub taekwondo, aku melihat gadis yang ingin kuhindari itu. Mau apa dia di sini? Kenapa dia tidak ikut klub lain saja? Kenapa klub ini? Tak bisakah aku terbebas darinya?

Sialnya, karena sedang kesal, dan tak bisa berkonsentrasi—karena dengan bodohnya mataku terus saja tertuju pada Lee Yo Won yang menjadi anggota baru klub ini—maka Seung Hyo berhasil membantingku dengan cepat—dia dan Tae Wong juga anggota klub taekwondo sepertiku dan Do Bin, selain aktif dalam OSIS. Sial. Sambil berdiri mataku melirik Lee Yo Won lagi. Gadis itu sedang mengobrol dengan beberapa gadis yang sudah lama menjadi anggota klub. Suaranya sebenarnya tidak bisa dikatakan merdu, tapi entah kenapa aku suka sekali mendengarnya.

“Nam Gil,” panggil guruku, Jung Ho Bin, saat latihan usai dan aku sedang bersiap untuk pulang.

Hmm, dari nada suaranya aku yakin dia bukan berniat untuk memujiku. “Ya?” sahutku.

Guru Jung melirik Lee Yo Won sekilas sebelum menatapku tajam. “Kau melakukan banyak kesalahan tadi,” katanya datar.

Hah… apa kubilang. “Maafkan aku, guru,” kataku sama datarnya.

“Kau tidak berkonsentrasi,” katanya, mengomentari hal yang sudah jelas. “karena gadis baru itu,” lanjutnya mengagetkanku. Bagaimana guru bisa tahu?

“Aku… aku tidak… bukan karena dia,” protesku. “tadi aku tidak dapat berkonsentrasi karena memikirkan permintaan kakakku.” Yah, itu juga benar. Aku tidak sepenuhnya ber-bohong. Selain karena terus menatap Lee Yo Won, kepalaku sedang dipusingkan dengan permintaan kak Jung Chul.

Guru menatapku tak percaya. “Sebentar lagi akan ada pertandingan. Kalau kau terus tidak bisa berkonsentrasi seperti tadi, kau tidak akan bisa memenangkannya.”

“Maaf, guru,” kataku. “Tak akan terulang lagi. Dalam pertandingan nanti aku pasti akan memenangkannya. Aku berjanji.”

Mulai sekarang aku akan berkonsentrasi pada pertandingan. Aku harus menang dan membuat guru bangga padaku. Lee Yo Won memang tidak baik untuk konsentrasiku. Aku benar-benar harus menjauhinya.

***

- Lee Yo Won - 3 September 2010 -

Aku tidak tahu kalau Nam Gil ternyata anggota klub taekwondo! Dari yang kudengar tentangnya, kupikir dia hanya seorang pembuat onar. Aku berusaha tak menghiraukan kehadirannya, tapi entah kenapa sulit sekali. Berkali-kali, tanpa kusadari mataku sudah tertuju padanya. Apa yang begitu menarik darinya hingga aku tidak bisa melepaskan pandangan dari sosoknya? Dia memang jangkung dan cukup tampan, tapi ada banyak pemuda lain yang masuk kriteria seperti itu dan aku tidak memperhatikan mereka.

Hah… aku sudah berhasil menghindar dari duduk berdekatan dengannya di kelas, tapi kehadirannya masih tetap mengganggu konsentrasiku. Aku bisa saja mengundurkan diri dari klub, tapi aku tidak enak hati pada kak Tae Wong yang sebelumnya kuminta memasukkanku ke klub ini. Lagi pula aku memang tertarik belajar taekwondo, jadi kenapa aku harus keluar hanya karena ada dia?

“Hei, tunggu!” Kudengar seseorang memanggilku saat latihan usai dan aku bersiap menjemput kakak di ruang klub paduan suara. Aku memutar tubuh, dan panik saat melihat Do Bin dan seorang temannya berjalan mendekatiku.

Tadi saat perkenalan diriku pada anggota yang lain, Do Bin belum ada. Dan saat dia datang bersama beberapa temannya, pemuda itu hanya melirikku sekilas dan terlihat tak mengenaliku. Mungkin yang di film-film itu ada benarnya. Mungkin daya ingatku memang kuat, sedangkan Do Bin tidak. Atau mungkin aku banyak berubah setelah sekian lama? Tapi rasanya tidak juga…

“Kau murid baru, ya?” tanya Do Bin. Dia semakin mendekatiku. “Tapi rasanya wajahmu tidak asing,” lanjutnya sambil tersenyum menggoda. Ihhh… dia mau menggodaku? Aku masih ingat wajahnya yang berlepotan es krim cokelat dan kebiasaannya buang angin di depanku dulu. Bukan gaya pria penggoda sama sekali.

“Apa kabar, Do Bin?” sapaku masam. Yah, kenapa harus menghindar? Semakin cepat, semakin baik untuk rencanaku bila mereka tahu aku sudah kembali ke Seoul.

Do Bin terlihat terkejut. “Kau… siapa—“

“Yo Won!” seruan kak Ye Jin memotong pertanyaan Do Bin. Dengan tergesa-gesa kak Ye Jin menghampiriku. “Ibu menelepon dan menyuruh kita cepat pulang. Katanya Ayah akan mengajak kita makan malam di luar.”

Do Bin terlihat semakin terkejut. “Kau… Yo won…? Lee Yo Won?”

“Sampai jumpa,” kataku datar. “Ayo, kak, kita pergi,” ajakku sambil menarik tangan kakak menjauh.



“Seharusnya kau lebih sering membawa kami makan di luar seperti ini,” kata Bibi Young Hee pada Paman Kil Kang. “Jadi aku tidak perlu repot memasak,” godanya.

“Baiklah,” sahut Paman sambil tertawa. “Kita akan lebih sering berjalan-jalan keluar mulai sekarang,” janjinya.

Aku tersenyum melihat cara Paman dan Bibi saling memandang dan tersenyum. Terlihat jelas mereka sangat saling mencintai. Beruntung sekali.

“Bagaimana , apa kalian betah tinggal di Seoul?” tanya Paman padaku dan kakak.

Kak Ye Jin mengangguk. “Aku suka. Rumah dan sekolahnya menyenangkan.”

“Benar,” sahutku, mengiyakan. Walaupun aku merasa agak kurang nyaman dengan Nam Gil, tapi secara keseluruhan semua menyenangkan. “Emm, Paman, apa Paman masih ingat jalan menuju rumahku?” tanyaku.

“Kau ingin mengunjungi rumahmu?” tanya Paman Kil Kang.

Bibi Young Hee langsung terlihat gelisah. “Tapi Yo Won, untuk apa kau ingin ke sana? Ibumu berpesan padaku untuk membesarkanmu, jadi—“

“Young Hee,” sela Paman Kil Kang tenang. “Yo Won bukannya mau pindah ke sana. Dia hanya ingin mengunjungi ayahnya. Tidak salah, kan? Bagaimanapun juga Lee Min Ki adalah ayah kandungnya.”

“Tapi—“

Aku meremas tangan Bibi pelan. “Tenang saja, tidak mungkin aku meninggalkan kalian yang begitu baik dan sayang padaku, hanya untuk pindah ke rumah ayah yang tak perduli padaku?” kataku sambil tersenyum.

“Yo Won—“ desah kak Ye Jin. Dia terus berusaha melunturkan dendamku pada Ayah dan Go Hyun Jung.

“Bagus sayang,” kata Bibi ceria. “ayahmu mungkin bukan orang jahat, tapi dia sudah sangat jahat pada ibumu yang malang. Kasihan sekali dia. Dia lebih dari sahabat bagiku, dia sudah seperti saudariku. Karena itu tak akan kubiarkan ayahmu menyakitimu lagi.”

“Sudahlah, Young Hee,” tegur Paman. “Aku akan mengantarmu, Yo Won. Sebutkan saja kapan kau ingin pergi,” katanya.

“Terima kasih, Paman,” kataku tulus. “Aku ingin ke sana besok.”


- 4 September 2010 -

Rumah itu masih sebesar yang dulu kuingat. Air mataku terasa mendesak ingin keluar, tapi kutahan sebisanya. Halaman depan itu penuh bunga-bungaan yang kuingat dulu ditanam oleh Ibu dengan bantuan tukang kebun kami. Dulu aku dan Ibu sempat bahagia di sana sebelum Ayah mengkhianati kami.

“Kau tidak ingin turun?” tanya Paman lembut.

Aku menggeleng pelan. Setelah sampai di sini aku takut masuk ke rumah itu. aku takut tidak bisa menahan diri melihat barang-barang yang mengingatkanku pada Ibu.

Sebuah mercedes hitam melesat melewati mobil Paman Kil Kang dan berhenti tepat di depan rumahku. Seorang pria paruh baya keluar dari mobil itu. sesaat jantungku seolah berhenti, sebelum kembali berdetak dengan cepat. Ayah.

Ayah terlihat masih sama seperti yang kuingat. Tapi sekarang dia terlihat jauh lebih tua dan lebih kurus. Atau mungkin sejak dulu dia memang begitu? Aku tidak tahu, sudah lama aku tidak melihatnya. Tanpa terasa air mataku sudah menetes. Aku membencinya atas apa yang sudah dilakukannya padaku dan Ibu. Aku yakin aku masih membencinya hingga kini. Tapi ada desakan perasaan lain yang timbul saat melihatnya. Sampai saat ini aku tidak sadar betapa aku merindukannya.

Saat dia menghilang ke dalam rumah, hampir saja aku berlari mengejarnya, tapi kemudian aku ingat perbuatannya padaku dan Ibu. Dan juga ketidak peduliannya padaku. Bila dia memang menyayangiku, pasti dia akan mencariku. Tapi hingga sekarang dia tak pernah berusaha menghubungiku. Tidak pernah.

“Yo Won,” panggil Paman Kil Kang.

“Kita pulang saja, Paman,” kataku dengan suara parau.

Tanpa berkata apa-apa, Paman menuruti permintaanku. Aku menyandarkan kening di kaca jendela mobil dan memejamkan mata. Tiba-tiba terlintas di benakku gambaran seorang pria berpakaian prajurit berwarna hitam sedang tertawa. Pria itu lagi. Pria yang mirip dengan Kim Nam Gil. Kali ini aku tidak merasa terganggu dengan kilasan pengelihatan itu, karena melihat tawa pria itu membuat hatiku terasa hangat dan mengangkat sedikit kesedihanku. Tanpa sadar bibirku sudah membentuk senyum. Siapapun dia, terima kasih.

***

Fanfic - Reinkarnasi BiDeok - Scene 5

Scene 5

*Bi Dam : Kim Nam Gil *Deokman : Lee Yo Won
*Yoo Shin : Uhm Tae Wong *Cheon Myeong : Park Ye Jin
*Bojong : Go Do Bin *Seok Poom : Hong Kyung In

------------------------------------------------------------------------------

- Kim Nam Gil - 2 September 2010 -

Hah… bisa juga si anak kesayangan Ibu membuat masalah. Do Bin, Kyung In, dan tiga teman mereka yang lain—yang tidak kukenal—sedang mendiskusikan penyerangan anak SMU Yanmook, tapi aku malas ikut menanggapinya. Terserah mau berapa banyak jumlahnya, asalkan cepat selesai dan aku bisa meminjam motor Do Bin.

“Apa jumlah kita cukup?” tanya salah seorang teman Do Bin yang terlihat resah.

Do Bin tersenyum sombong sambil menjawab, “Tentu saja cukup. Mereka tidak kuat dan jumlah merekapun tak banyak. Apalagi ada aku, Kyung In dan Nam Gil. Sebentar saja pasti selesai.”

Tapi temannya itu masih terlihat tak percaya. “Yah, kalian bertiga memang ahli taekwondo, tapi kami kan tidak.”

“Sudahlah, yakin saja semua pasti beres,” kata Kyung In tak sabar. “Jangan jadi pengecut begitu.”

“Yah, tapi sebenarnya karena apa mereka menyerang kemari?” tanya yang lain penasaran.

Kyung In melirik Do Bin ragu-ragu, sebelum menjawab, “Do Bin merebut gadis yang diincar seorang murid Yanmook.”

Aku mendengus keras. Jadi karena gadis? Menggelikan. Wanita memang hanya membuat masalah saja. Contoh paling tepat adalah ibuku sendiri.

“Tapi, apa kalian sudah memperkirakan berapa orang yang akan datang kemari?” tanya yang lain lagi.

“Kurasa… sekitar sepuluh orang,” jawab Do Bin acuh tak acuh. Lagi-lagi dia menampilkan senyum sombongnya yang menyebalkan itu.

Aku melihat ada serombongan orang berseragam biru-hitam-merah mendekat. “Tebakanmu salah,” ejekku sambil tertawa. “Itu mereka. Dua puluh… mungkin lebih.”

Nah, aku puas melihat senyum menyebalkan di wajah Do Bin memudar dan digantikan rasa terkejut. Haha…

“Bagaimana mungkin dia punya komplotan sebanyak itu?” desis Do Bin.

Aku tak tahan untuk tidak tertawa melihat ekspresi Do Bin dan kegelisahan teman-temannya. “Kau ini naïf sekali,” olokku. “Tentu saja sainganmu itu meminta bantuan anggota geng sekolahnya. Kau tidak pernah dengar? Bos geng SMU Yanmook itu sangat ditakuti di sekolahnya sana,” tambahku, sengaja menakut-nakuti.

Tiba-tiba gerombolan SMU Yanmook berlari cepat menuju kami sambil mengayun-ayunkan kayu dan beragam senjata lain yang mereka bawa.

“Serang!!!” teriakku dan Do Bin bersamaan.

Jumlahnya memang tidak imbang, tapi justru tantangan itu yang mengasyikkan. Aku memukul seorang yang bertubuh paling besar dengan kayu yang kubawa, lalu menendang perutnya dengan keras. Kulihat Do Bin juga dengan cepat menumbangkan musuhnya, dan balas melirikku.

“Ingat, ini idemu. Jangan bawa-bawa aku kalau Go Young Jae mendengar tentang ini,” kataku memperingatkannya.

Do Bin memukul punggung seseorang dengan kayunya hingga roboh, lalu menyeringai padaku. “Tenang saja,” sahutnya.

Aku membalas seringaiannya sambil menghajar dua orang sekaligus. Hah… makin lama ini makin mengasyikkan. Tapi tiba-tiba sudut mataku menangkap gambaran seorang gadis sedang berdiri tak jauh dari tempat kami berkelahi. Astaga, itu si gadis baru!

Bukk… karena lengah ketika melihat gadis itu, seseorang mengambil kesempatan untuk meninju perutku. Cukup keras. Sial. Cepat-cepat aku menghantam kepalanya, lalu berlari menuju si gadis baru.

“Sedang apa kau disitu!?” teriakku. “Pergi!” Mungkin jalan pulangnya memang lewat jalan ini, tapi hari ini dia harus memutar lewat jalan lain bila tidak ingin celaka.

Gadis itu tersentak kaget mendengar teriakanku. Dia langsung berbalik pergi, tapi sialnya seorang siswa Yanmook yang keburu melihatnya, segera menangkap gadis itu. Melihat si brengsek itu berani menyentuh si gadis baru, membuat kepalaku pusing dengan amarah. Dadaku terasa sesak dengan emosi yang meluap-luap. Aku segera berlari dengan membabi buta untuk menolongnya, tapi ternyata si gadis baru bukanlah bunga yang rapuh. Dengan sigap dia menyikut perut pemuda itu, menonjok rahangnya, lalu yang terakhir, menendang selangkangannya. Tanpa kusadari, tiba-tiba aku sudah tersenyum bangga melihat keberaniannya. Tapi tetap saja dia tidak boleh ada di tempat ini.

“Kenapa kau disini!?” bentakku. “cepat pergi!”

Gadis itu melotot marah. “Ini jalan pulangku. Mana kutahu sedang ada perkelahian di sini!?” sahutnya marah.

“Gadis itu! Dia gadis SMU Chongjan! Tangkap dia!” teriak bos geng SMU Yanmook pada seluruh anak buahnya.

“Sial,” makiku sambil mengambil posisi melindungi gadis baru itu.

“Ada apa ini!?” Aku menengok ke arah datangnya suara itu dan melihat Tae Wong berlari mendekat dengan wajah cemas.

Berdua dengan sang ketua OSIS, aku berusaha melindungi si gadis baru dari jangkauan murid-murid SMU Yanmook.

“Menjauhlah!” perintahku. “Jangan ada yang berani mendekat. Kalau ada yang berani menyentuhnya, akan kuhabisi!” ancamku. Dan aku bukan bersikap sok pahlawan. Aku benar-benar serius dengan perkataanku. Entah kenapa aku merasa harus melindunginya semampuku. Padahal biasanya aku tak begitu perduli pada orang asing.

Aku dan Tae Wong terpaksa tak dapat leluasa bergerak karena juga harus melindungi si gadis baru. Kami benar-benar dikepung. Do Bin, Kyung In, dan tiga teman mereka yang lain juga sedang di kepung oleh sebagian murid SMU Yanmook yang lain dan tak bisa membantu.

Merasa sangat kesal, aku melampiaskannya pada bos mereka yang dengan beraninya meninju rahangku hingga terasa sakit. Walaupun dia sudah terjatuh, aku terus menghajarnya dan sekaligus menghajar anak-anak buahnya yang berniat membantu bos mereka dengan mengeroyokku.

“Nam Gil, awas!” tiba-tiba si gadis baru meneriakiku.

Dan bodohnya aku, begitu mendengarnya menyebut namaku, tubuhku langsung berubah kaku. Bulu kudukku kembali berdiri, dan ada perasaan aneh di hatiku yang sullit diungkapkan. Salah satu hal yang kurasakan adalah… gembira.

Dengan terkejut aku melihat gadis itu mengangkat tasnya tinggi-tinggi sambil berlari ke arahku. Bukk… dia melempar tas itu ke wajah bos anak-anak SMU Yanmook yang rupanya berhasil bangkit dan berniat menusukku dengan pisau kecilnya saat melihatku lengah dan melamun. Tak menyia-nyiakan kesempatan, aku segera merebut pisau kecilnya dan membuangnya jauh-jauh, lalu menendang perutnya dengan keras hingga dia jatuh terduduk.

Terdengar suara sirine mobil polisi. Dengan panik gadis itu mengambil kembali tasnya, lalu meraih tanganku dan tangan Tae Wong, kemudian menarik kami berdua berlari bersamanya. Dan seperti orang bodoh, aku hanya bisa mengikutinya. Aku… terkejut.

Dia… si gadis baru… dia menyelamatkanku. Dia menyelamatkanku. Tak pernah ada yang menyelamatkanku sebelumnya. Orang-orang biasanya meminta pertolonganku untuk membantu mereka, tapi gadis ini justru menyelamatkanku. Dia menyelamatkanku.

***

- Lee Yo Won - 2 September 2010 -

Aku sudah tidak kuat lagi berlari. Napasku terasa sesak. Aku menghentikan lariku sambil mengatur napas dengan susah payah. Kutengok kebelakang, dan tak melihat tanda-tanda kami diikuti. Syukurlah. Tapi… saat kutengok ke sekelilingku… dimana ini?

Seseorang berdeham. Aku baru tersadar kalau ternyata masih memegangi tangan Nam Gil dan kak Tae Wong. Dengan malu aku buru-buru melepaskan peganganku.

“Emm, apa ada yang tahu sekarang kita di mana?” tanyaku setenang mungkin. Kutatap Nam Gil. “aku benar-benar tidak tahu jalan.”

Bukannya menjawabku, pemuda itu hanya berdiri diam sambil memandangiku lekat-lekat. Aku merasa risih diperhatikan seperti itu. Bukan hanya karena caranya memandangku, tapi juga karena melihat sosok Nam Gil mengingatkanku pada kilasan pengelihatan yang kudapat di tempat perkelahian tadi.

Saat Nam Gil berdiri di depanku dengan gaya melindungi, dan mengeluarkan ancaman agar para berandalan itu tidak berani mendekatiku, tiba-tiba terlintas di benakku kejadian yang hampir serupa. Dalam kilasan itu lagi-lagi aku melihat seorang pria yang sangat mirip dengan Nam Gil. Pria berpakaian lusuh dengan model seperti pesilat itu berdiri melindungiku persis seperti yang dilakukan Nam Gil. Pria itu juga mengancam gerombolan pria asing berpakaian prajurit kuno yang mengacungkan pedang pada kami. Benar-benar gila. Apa yang terjadi padaku? Memangnya kapan aku pernah berada dalam situasi seperti itu?

“Kau tidak apa-apa?” lagi-lagi kak Tae Wong yang menyadarkanku dari lamunan.

“Ah, ya, tidak. Aku tidak apa-apa,” jawabku cepat. Kulirik Nam Gil, dan ternyata dia masih juga memandangiku.

“Kau baru pindah ke Seoul?” tanya kak Tae Wong.

Aku mengangguk. “Baru sekitar seminggu,” jawabku.

“Kalau kau mau, aku bisa membantumu mencari jalan pulang,” tawarnya. “Dimana alamatmu?”

Aku menyebutkannya, dan kak Tae Wong terlihat terkejut. “Rupanya kau dan keluargamu yang menjadi tetangga baruku,” katanya. “Rumahku di sebelah rumahmu.”

Aku tertawa. “Benarkah? Kebetulan sekali.”

Suara musik menyela pembicaraan kami. Aku dan kak Tae Wong menatap Nam Gil yang baru tersadar bahwa itu bunyi ponselnya.

“Ya?” tanyanya pada orang yang meneleponnya dengan suara keras. Dia terdiam mendengarkan kata-kata dari orang yang meneleponnya sambil melirikku. “Baiklah, aku akan segera ke sana. Ya.”

“Kenapa kalian berkelahi tadi?” tanya kak Tae Wong pada Nam Gil setelah pemuda itu mengakhiri pembicaraannya.

Nam Gil meringis. “Aku hanya membantu. Anak-anak SMU Yanmook yang lebih dulu menyerang Do Bin dan Kyung In,” jawabnya cepat. “Maaf, tanya-jawabnya dilanjutkan nanti saja. Aku buru-buru. Sampai jumpa,” katanya. Dia melirikku sekilas, kemudian berlari menjauh.

Kak Tae Wong mengamati kepergian Nam Gil sambil menghela napas. “Baiklah, ayo kita pulang,” ajaknya.



Karena rumah kami dekat dengan sekolah, maka kami hanya perlu berjalan kaki dan tak usah naik bus atau kereta. Dia juga menunjukkan jalan lain menuju rumah bila tidak bisa melewati jalan pulang-pergiku sebelumnya. Tak seperti dugaanku ternyata kak Tae Wong orang yang cukup ramah, walaupun memang bisa dibilang pendiam.

“Yo Won,” sapa kak Ye Jin dari depan pagar rumah kami.

“Kakak? Bukannya kakak masih sakit?” tanyaku. Cepat-cepat aku mendekatinya.

Kak Ye Jin tersenyum. “Aku sudah lebih sehat sekarang,” jawabnya. Dia melirik kak Tae Wong. “Temanmu?”

Aku balik tersenyum. “Kak, perkenalkan, ini Uhm Tae Wong, senior kita di sekolah. Dia juga ketua OSIS dan tetangga kita,” kataku memperkenalkan. “Kak Tae Wong, perkenalkan, ini kakakku, Park Ye Jin.”

Kulihat kak Tae Wong sedikit mengerutkan kening—mungkin dia heran mendengar perbedaan nama keluargaku dan kakak—sebelum kemudian tersenyum ramah pada kak Ye Jin yang juga membalas senyum itu dengan ramah.

“Baiklah, aku permisi,” kata kak Tae Wong sopan, setelah sebelumnya bersalaman dengan kak Ye Jin.

Kulihat kakak mengamati kak Tae Wong hingga menghilang ke dalam rumahnya, lalu dia tersenyum lebar padaku. “Bagaimana sekolah baru kita?” tanyanya.

Aku mendesah. “Ceritanya panjang, jadi aku akan cerita di dalam saja,” kataku sambil menariknya masuk.



Aku terbangun. Kulihat kak Ye Jin masih tidur nyenyak di ranjangnya. Sekarang tepat jam 12.00 malam. mimpi barusan… aku bermimpi ada seorang pria menyodorkan rangkaian bunga kuning cerah padaku. Wajah pria itu terkesan kekanakan, apalagi ditambah dengan senyum lebarnya yang jenaka. Melihat senyumnya hatiku terasa hangat dan melambung tinggi. Tapi saat aku akan meraih bunga yang disosorkannya padaku, aku terbangun.

Rasanya dulu aku juga pernah mengalami mimpi yang sama… Ah! Ya, saat aku masih kecil, saat kabur bersama Ibu, aku memimpikan pria itu juga. Dulu aku tidak mengenali wajahnya, tapi… sekarang aku tahu. Pria yang ada di mimpiku tadi adalah pria yang sama dengan pria yang kulihat dalam kilasan pengelihatan saat di sekolah. Pria yang berwajah mirip dengan Nam Gil.

Tapi kenapa? Kenapa pria itu bisa muncul di mimpi dan di benakku? Siapa pria itu? Apa hubungannya dengan Kim Nam Gil? Dan yang terpenting, apa hubungannya denganku?

“Yo Won?” terdengar suara pelan kak Ye Jin. “Ada apa? Kenapa kau terbangun malam-malam begini? Apa kau masih memikirkan sepupumu itu?” tanyanya, mengingat ceritaku saat di sekolah bertemu dengan Go Do Bin.

Aku mendengus. Untuk apa memikirkannya? “Dia tidak benar-benar sepupuku,” kataku. “Kami tidak memiliki hubungan darah. Dia hanya sepupu tiri.”

“Kau masih memikirkan cara membalas dendam pada ibunya?” tanya kak Ye Jin dengan nada khawatir. “Itu tidak baik, Yo Won. Lupakan masa lalu, lanjutkan saja hidupmu. Lupakan orang-orang yang menyakitimu dan ibumu. Pada saatnya nanti mereka akan mendapat balasannya sendiri. Balas dendam hanya akan menimbulkan masalah saja,” sarannya.

Aku memaksakan diri untuk tersenyum pada kakak. Kak Ye Jin terlihat begitu khawatir. “Tenang saja,” kataku.

Pura-pura menguap, lalu aku bersemunyi dalam selimut. Dengan sengaja aku ingin mengakhiri pembicaraan tentang pembalasan dendamku. Kak Ye Jin yang baik, halus dan lembut hati tak akan mungkin mengerti. Dia beruntung. Dia memiliki orangtua lengkap yang saling mencintai dan juga sangat menyayanginya. Tidak sepertiku.

Kakak tak akan mungkin mengerti perasaanku. Bagaimana takutnya aku saat berumur enam tahun. Betapa takutnya aku melihat Ibu sekarat. Ibu yang kucintai dan satu-satunya orang yang benar-benar mencintaiku tanpa syarat. Aku takut Ibu mati dan meninggalkanku. Aku takut sendirian. Dan aku memang sendiri setelah Ibu tiada. Paman, Bibi, dan kak Ye Jin memang baik dan menyayangiku seperti bagian keluarga mereka sendiri, tapi mereka tetap orang asing. Sedangkan Ayah yang seharusnya menyayangiku, malah tak memperdulikan keberadaanku. Dan karena Ayah dan saudara tirinya, Ibuku meninggal.

Salahkah aku bila membenci mereka? Berdosakah aku memikirkan untuk membalas sakit hati yang aku dan Ibuku rasakan?

***

Fanfic - Reinkarnasi BiDeok - Scene 4

Scene 4

*Bi Dam : Kim Nam Gil *Deokman : Lee Yo Won
*Mi Shil : Go Hyun Jung *Yoo Shin : Uhm Tae Wong
*Cheon Myeong : Park Ye Jin *Alcheon : Lee Seung Hyo
*Bo Jong : Go Do Bin *Seok Poom : Hong Kyung In
*Jook Bang : Lee Moon Shik *Go Do : Ryu Dam
*San Tak : (tetap nama di QSD)

-----------------------------------------------------------------------------

- Kim Nam Gil - 2 September 2010 –

Siapa bilang jalan masuk sekolah hanya gerbang depan? Aku memanjat pagar halaman belakang sekolah sambil tersenyum puas. Apa Uhm Tae wong merasa dirinya pintar? Hah… sudah jelas tak sepintar aku. Kalau aku jadi dia, pasti aku akan menyuruh orang berjaga-jaga di pagar belakang juga.

Mana mungkin aku mau menandatangani absen bodoh itu? Kunci motorku pasti akan ditahan lebih lama oleh si tua Go Young Jae bila dia mendapat pemberitahuan dari kepala sekolah bahwa aku selalu terlambat datang selama tiga hari berturut-turut… atau mungkin nantinya malah lebih.

Hupp… pendaratanku yang berlangsung mulus membuatku menyeringai senang. Setelah mengamati keadaan sekitar, aku buru-buru masuk ke gedung sekolah.

“Perkenalkan, namaku Lee Yo Won,”

Saat semakin dekat dengan ruang kelasku, lagi-lagi aku mendengar suara yang membuat bulu kudukku berdiri. Astaga, jangan bilang kalau…

“Kim Nam Gil!” geram Baek Sung Hoo. Dia guru… Biologiku…? Atau mungkin guru sejarahku…? Atau mungkin juga… “Kim Nam Gil! Sedang apa kau berdiri diam di sana? Kau mau masuk kelas ini atau tidak?”

Sengaja ingin membuatnya kesal, aku masuk sambil tersenyum jail. Si gadis pembuat bulu kudukku berdiri itu menjulurkan kepalanya melewati tubuh besar pak Baek Sung Hoo untuk menatapku. Merasa iseng, aku mengedipkan sebelah mata padanya. Haha… ekspresi wajahnya lucu sekali. Entah dia kaget melihatku bisa masuk sekolah, atau kaget karena aku mengedipkan mata padanya.

Rasa nyeri di dadaku kembali muncul. Berusaha tak menghiraukannya, aku terus berjalan menuju kursiku. Ini keberuntungan, kesialan, atau hanya takdir? Kenapa aku bertemu dengan gadis itu terus?

“Ada dua kursi kosong di kelas ini,” kata guruku itu pada si murid baru. “Tapi demi kebaikanmu sendiri, kusarankan kau duduk di sebelah Ryu Dam saja,” sarannya.

Aku mendengus keras-keras. Biar saja dia mendengar. Dasar gajah tua, dipikirnya aku virus mematikan atau apa? Memangnya kenapa kalau gadis itu memilih kursi kosong di sebelahku?

“Gadis baru itu cantik juga, ya?” kata San Tak padaku dari kursinya yang berada tepat di depanku. Matanya tak lepas memandangi gadis baru yang sedang berjalan menuju kursi di sebelah si gendut Ryu Dam.

Aku mendelik padanya. Entah kenapa aku merasa kesal mendengar San Tak tertarik pada si murid baru. “Lalu kenapa kalau dia cantik? Kau tak mungkin masuk hitungannya.”

San Tak balik mendelik padaku sambil memonyongkan bibirnya. “Aku tidak bermaksud mendekatinya,” protesnya. “Aku hanya mengatakan dia cantik. Apa salah memuji orang?” gerutunya.

Aku pura-pura tak mendengar, dan langsung mengeluarkan sembarang buku dari dalam tasku. Tapi sialnya San Tak tak mau berhenti bicara. “Walaupun misalnya aku tertarik pada gadis itu, tak mungkin aku akan mendekatinya. Tak mungkin aku sengaja mencari masalah denganmu hanya karena berebut seorang gadis.”

Aku membanting bukuku dengan keras. Kutatap wajahnya dengan tajam. “Siapa bilang aku mengincarnya?”

“Eh, yah, kau tak perlu bilang pun aku sudah tahu,” jawabnya gugup. “saat masuk tadi kau mengedipkan mata padanya, lalu barusan kau marah karena aku memuji—“

“Argh! Sudah-sudah, aku tidak mau dengar lagi!” bentakku.

“Bagus!” seru Pak Baek Sung Hoo dari depan kelas. “Bagus sekali! Kalau pelajaranku begitu memuakkan bagimu, seperti aku yang muak melihat tingkahmu, maka keluar saja. Ayo keluar!”

San Tak semakin salah tingkah melihat pelototan marahku padanya. Dasar bodoh. Gara-gara dia aku jadi dapat masalah. Awas saja kau nanti.



“Baiklah, baiklah, aku minta maaf,” mohon San Tak saat jam istirahat. “Tapi salahmu sendiri berteriak padaku saat jam pelajaran.”

“Sudahlah, kau jauh-jauh saja dariku,” desahku kesal. “Moodku sedang tidak bagus sekarang. Kalau tidak mau jadi sasaran kemarahanku, sebaiknya kau pergi saja.”

Benar-benar sial si gajah tua tadi. Padahal aku sudah meminta maaf dan mencoba menjelaskan, tapi dia tidak mau dengar. Dan semakin sial saat dia mendatangi mejaku dan melihat buku yang kubuka di meja adalah buku pelajaran sastra dan bukannya buku kimia, pelajaran yang sedang diajarkannya. Dasar pemarah.

“Oh ya, sore ini akan diadakan balap motor lagi di Inchon. Kau ikut, kan? Kali ini uang-nya lebih banyak,” katanya mengiming-imingiku. “Bukankah katamu ingin menyumbang pada korban gempa di… Indonesia? Tapi belum tercapai karena kau sedang tidak punya uang. Nah, kalau kau menang lagi di lomba kali ini, uangnya lumayan juga. Tapi… tentu saja, sebelum disumbangkan pada Negara lain, kau harus menyumbangkan sedikit untukku dulu,” lanjutnya sambil menyeringai seperti orang bodoh.

Benar. Aku memang berencana memberikan sedikit bantuan ke sana. “Sayangnya motorku sedang disita sekarang,” kataku.

“Apa? Astaga, padahal aku sudah berharap sekali kau bisa menang…”

“Kalaupun aku ikut bertanding dan kemudian menang, apa kau pikir aku akan memberikannya padamu? Yang benar saja.”

“Nam Gil!”

Aku menghentikan langkahku dan memutar tubuh ke arah datangnya suara yang memanggilku tadi. Ternyata Do Bin dan salah seorang sahabatnya, Hong Kyung In.

“Ada apa?” tanyaku dingin.

Do Bin tersenyum. Aku kesal melihatnya tersenyum. Dia jadi terlihat mirip Ibu. “Kami butuh batuanmu.”

“Apa imbalannya?”

Dia melambai-lambaikan sebuah kunci. “Kudengar kau butuh motor? Kau boleh pakai milikku.”

“Sebutkan saja,” perintahku.

***

- Lee Yo Won - 2 September 2010 -

“Yo Won, kau harus hati-hati,” kata Ryu Dam saat kami sedang makan siang di kafetaria. “Jangan dekat-dekat dengan Nam Gil. Dia itu tukang buat onar.”

“Benar. Bila dalam seminggu kau tidak melihatnya berkelahi, itu pertanda kiamat sudah dekat,” sambung Lee Moon Shik.

Aku hanya menanggapi dengan anggukan acuh tak acuh karena mulutku sedang penuh dengan makanan. Aku tidak takut pada Nam Gil hanya karena dia tukang buat onar, tapi aku memang agak kurang nyaman di dekatnya. Setiap di dekatnya aku merasa aneh. Hal-hal tak normal terus saja terjadi bila di dekatnya. Seperti di kelas tadi, saat dia berkedip padaku, tiba-tiba saja aku mendapat kilasan lagi. Dalam kilasan pengelihatanku itu, lagi-lagi ada pria yang sangat mirip dengan Nam Gil. Pria itu keluar dari kegelapan dan tiba-tiba mengedipkan mata kanannya padaku. Gayanya sama persis seperti yang dilakukan Nam Gil saat memasuki kelas. Dan melihat kedua kedipan mata itu membuat jantungku berdebar kencang.

“Ahh… kenyang,” desahku puas saat selesai menelan suapan terakhir.

Seharusnya kak Ye Jin masuk sekolah bersamaku hari ini, tapi kemarin dia terserang flu. Kasihan sekali. Tapi, kalau besok kakak masuk, berarti dia akan duduk di sebelah Nam Gil? Hmm… kak Ye Jin begitu halus dan lembut, dia pasti akan sangat tak nyaman berdekatan dengan orang seperti itu. Tapi aku juga merasa enggan pindah tempat duduk.

Lamunanku terhenti saat seseorang menyentuh bahuku. Si wajah datar yang tadi pagi. Aku baru membuka mulut untuk bertanya ada apa, saat mendapat kilasan pengelihatan lagi. Kali ini aku merasa seperti sedang didekap erat dari belakang. Rasanya hangat dan nyaman. Tapi kali ini bukan pria yang mirip dengan Nam Gil itu yang kulihat, melainkan pria lain. Pria itu berpakaian seperti prajurit jaman dulu dan… anehnya wajah sangat mirip dengan si wajah datar. Apa lagi ini?

“Hei, aku bertanya padamu,” si wajah datar menyadarkanku kembali ke dunia nyata. “Kau kenapa?” tanyanya lagi dengan heran.

“Eh, ah, tidak… tidak apa-apa,” jawabku tergagap. Rasanya sulit berkonsentrasi mencerna perkataannya saat kepalaku sedang dipusingkan dengan kejadian-kejadian aneh yang kualami sejak pagi.

“Aku bertanya, apa ini milikmu?” tanyanya sambil menyodorkan gantungan ponsel berwarna perak dan berbentuk bintang dengan huruf Y di tengah-tengah bintangnya—yang merupakan inisial namaku.

Aku merogoh ke saku rokku dan melihat ponselku memang kehilangan gantungannya. “Ya, itu milikku. Bagaimana bisa ada padamu?” tanyaku.

“Baru saja aku tanpa sengaja menginjaknya. Kau menjatuhkannya,” jawabnya sambil memberikan gantungan itu. “Permisi,” lanjutnya sambil berjalan pergi.

“Nah, yang itu baru pilihan tepat bila kau mencari pacar,” kata Moon Shik sambil tersenyum. “Namanya Uhm Tae Wong. Dia ketua OSIS dan putra kepala sekolah kita.”

“Aku—“

“Atau,” sela Ryu Dam cepat, dengan mulut yang penuh makanan. “kau bisa pilih sahabatnya. Itu, yang baru saja duduk di sebelah kak Tae Wong. Dia wakil ketua OSIS. Namanya Lee Seung Hyo. Dia tegas dan sama bisa diandalkannya dengan ketua OSIS kita.”

“Tapi,” potongku cepat, sebelum mereka mulai bicara lagi. “Aku tidak pernah bilang sedang mencari pacar, kan?”

“Oh, kau sudah punya kekasih? Yah, kami hanya sekedar memberi informasi,” kata Moon Shik. “Asal tahu saja, mereka berdua itu termasuk yang paling populer di kalangan gadis seantero sekolah. Bahkan banyak juga murid perempuan dari sekolah lain yang mengincar keduanya.”

“Aku—“

“Tapi, tapi,” potong Ryu Dam lagi. “Nam Gil juga sangat populer. Dia digilai banyak gadis SMU seantero Seoul. Tentu saja karena dia sering berkeliaran, jadi banyak yang mengenalnya. Walaupun aku heran kenapa bisa ada gadis yang menyukai berandalan sepertinya. Yah, memang wajahnya lumayan juga, kuakui. Apalagi paman dan bibinya sangat kaya.”

“Aku tidak memiliki pacar, dan juga tidak sedang berburu lelaki,” omelku. “Kalian ini suka sekali menyela perkataan orang.”

“Ya, ya, baiklah, mulai sekarang kami akan tutup mulut,” gerutu Moon Shik.

“Benar,” Ryu Dam menyetujui. “Kami tidak akan bicara sepatah kata pun.”

Aku tersenyum masam melihat tingkah mereka yang seperti anak kecil. Dasar. Begitu saja ngambek. Tapi senyumku segera menghilang saat melihat pemuda yang baru saja memasuki kafetaria. Itu… tidak mungkin… itu Go Do Bin!

“Moon Shik… Ryu Dam… itu… siapa dia? Siapa nama anak yang sedang memillih makanan itu?” tanyaku gugup. Hening. Tak ada jawaban.

Moon Shik dan Ryu Dam berpura-pura tak mendengar perkataanku dan dengan sengaja tak mau memandangku.

“Hei!” aku berseru sambil mengguncang tubuh keduanya bergantian. “berhentilah bersikap menggelikan begini. Ayo, jawab aku!”

Kedua teman baruku itu melayangkan pandangan penuh pertimbangan padaku, lalu melirik pemuda yang kukira adalah Go Do Bin.

“Mereka berdua? Itu Go Do Bin dan Hong Kyung In. Mereka—“

Aku tidak mendengar kelanjutan informasi dari Moon Shik. Aku terlalu kalut. Ternyata benar. Ingatanku tidak salah. Dia memang Go Do Bin. Putra kedua Go Hyun Jung. Musuhku dan Ibu.

Hah… film-film itu jelas bohong. Mereka selalu menceritakan orang-orang yang berpisah saat kecil tak akan saling mengenal ketika sudah dewasa. Nyatanya wajah setiap orang tak berubah begitu jauhnya walau mereka beranjak dewasa. Meskipun terakhir kali aku melihat Do Bin saat berumur enam tahun, aku masih mengingatnya. Dia hanya setahun lebih tua dariku. Berarti saat ini dia sudah kelas tiga.

“Kau tertarik pada yang mana? Go Do Bin atau Hong Kyung In?” tanya Ryu Dam. “Tapi kalau menurutku lebih baik dengan Go Do Bin. Walaupun sama sombongnya dengan temannya, tapi dia sangat kaya. Dia kan—“

“Ya ampun, sudahlah,” selaku. “aku tidak mengincar siapa-siapa,” gerutuku. Mengincar Go Do Bin? Yang benar saja. Walaupun seluruh pria di dunia ini punah, dan hanya tersisa putra-putra Go Hyun Jung, aku tak akan memilih mereka. Lebih baik aku menjadi perawan tua hingga akhir hayat. Aku tidak sudi dihubung-hubungkan dengan keturunan Go Hyun Jung. Tidak sudi!

***

Fanfic - Reinkarnasi BiDeok - Scene 3

Scene 3

*Bi Dam : Kim Nam Gil *Deokman : Lee Yo Won
*Yoo Shin : Uhm Tae Wong *Alcheon : Lee Seung Hyo

----------------------------------------------------------------------------

- Kim Nam Gil - 2 September 2010 -

Pukul 08.15. Sial. Gerbang pasti sudah dikunci. Seharusnya tadi aku tidak usah sok pahlawan menolong anak itu.

Sebenarnya aku bangun pagi, tapi saat dalam perjalanan tadi aku melihat seorang bocah SMP diganggu oleh segerombolan anak SMU Haegu. Memang bukan kelompok yang waktu itu mencari gara-gara denganku—tidak mungkin, karena mereka sedang di rumah sakit sekarang—tapi tetap saja aku kesal melihat seragam hijau-putih mereka yang mengingatkan-ku pada motorku yang disita ayah tiriku sebagai hukuman karena berkelahi dengan anak-anak SMU Haegu hari itu.

Jadi, bukannya langsung pergi ke sekolah, aku malah melakukan sedikit pemanasan pagi hari—yang sialnya karena keasyikan, aku jadi lupa waktu.

Benar saja, saat semakin dekat, aku melihat gerbang sekolah sudah tertutup rapat. Tae Wong dan Seung Hyo sudah berjaga di sana. Hah… apa hebatnya jabatan mereka? Hanya ketua dan wakil ketua OSIS, tapi lagaknya seperti pemilik Korea Selatan saja.

“Kumohon, ijinkan aku masuk!” pinta seorang gadis di depan gerbang pada kedua seniorku itu.

Aku tidak melihat wajahnya karena dia membelakangiku. Gadis itu bertubuh ramping, berambut hitam panjang dan lurus. Walaupun terlihat seperti sedang memohon, suaranya tetap terdengar tegas dan bukannya merengek. Entah kenapa suaranya membuat bulu kudukku berdiri. Rasanya suara itu begitu familiar.

“Kau terlambat lima belas menit sembilan detik,” kata Tae Wong datar.

Aku tak tahan untuk tidak mendengus dan tertawa. Bahkan detik pun dihitung.

“Tapi ini tidak disengaja! Tadi aku—“

“Kim Nam Gil!” Memotong perkataan gadis itu, Tae wong malah langsung meneriakiku.

“Aku tahu aku terlambat,” sergahku sambil berjalan semakin mendekati gerbang. “terlambat lima belas menit enam belas detik,” ejekku.

“Kau pikir ini lucu?” tanya Tae Wong setengah membentak.

Aku berdiri disebelah gadis itu sambil dengan sengaja memperlihatkan wajah konyol pada Tae Wong dan Seung Hyo yang jelas kesal melihat tingkahku. “Memangnya kau bisa mengenali hal lucu?” ejekku sambil tertawa.

Kudengar gadis di sebelahku mengeluarkan suara aneh yang sepertinya suara tawa tertahan, jadi aku meliriknya dengan ekspresi wajah kubuat seolah mengajaknya bersekongkol. Tapi saat gadis itu balik menatapku, sesuatu yang aneh terjadi. Jantungku berdebar cepat dan kencang, yang kemudian berubah menjadi sedikit tusukan rasa sakit. Setelah sekian lama tak pernah lagi menangis, entah kenapa sekarang aku harus berusaha sekuat tenaga menahan air mata yang mendesak keluar. Konyol sekali.

Tiba-tiba sebuah kilasan mengaburkan pandanganku dan seolah membawaku ke dimensi lain. Aku melihat seorang gadis berpakaian tradisional Korea sedang tersenyum padaku. Melihat senyum itu membuat hatiku terasa hangat. Aku membalas senyumnya, tapi kemudian gadis itu menghilang. Setelah tersadar, yang ada di hadapanku bukan lagi gadis dengan pakaian tradisionalnya, malainkan gadis berseragam abu-abu-hitam-putih SMU Chongjan—sekolahku. Gadis yang sama terlambatnya denganku itu.

Anehnya, pakaian mereka mungkin memang berbeda, tapi wajah gadis ini sama persis dengan gadis berpakaian tradisional yang ada dalam kilasan pengelihatanku tadi. Apa-apaan ini? Siapa gadis ini?

Entah kenapa gadis itu juga terlihat tercengang dan sedikit melamun saat memanda-ngiku. Yang lebih mencengangkan, tiba-tiba dari kedua mata bulat indah itu menetes air mata. Dan aku merasa terdorong untuk menghapus air mata itu. Entah kenapa melihatnya menangis membuat hatiku terasa sakit. Tapi sebelum tanganku menyentuh pipinya yang halus dengan rona kemerahan alami, aku segera menghentikannya, dan memasukkan tanganku ke saku celana. Reaksi tak normal ini harus dihentikan.

Gadis itu sepertinya sudah tersadar dari lamunannya, karena sekarang dia sedang menghapus air matanya. Tae Wong dan Seung Hyo yang sedari tadi mengamati kami dengan heran, bertanya bersamaan; “Ada apa dengan kalian?”

Ya, ada apa denganku hari ini? Aneh sekali. Aku juga tidak tahu apa yang sedang terjadi. Siapa gadis ini? Siapa gadis yang ada dalam kilasan pengelihatanku tadi?

***

- Lee Yo Won - 2 September 2010 -

Sedetik jantungku seolah berhenti berdetak, lalu berubah menjadi menghentak-hentak dengan begitu kerasnya. Di saat aku kesulitan bernapas, tiba-tiba sebuah kilasan kejadian membutakanku. Aku melihat seorang pemuda berpakaian kumal sedang tertawa lepas. Deretan giginya yang putih cemerlang begitu kontras dengan warna kulitnya yang kecokelatan. Melihatnya tertawa membuatku ingin ikut tertawa sekaligus terenyuh, entah kenapa. Dia begitu ceria, bebas dan kekanakan. Namun dalam sekejap sosok pemuda itu menghilang dan digantikan oleh pemuda yang tadi dipanggil dengan nama Kim Nam Gil.

Selain pakaian yang dikenakannya, Kim Nam Gil begitu serupa dengan sosok pemuda penuh tawa dalam kilasan pengelihatanku. Bahkan rambutnya yang diikat sembarangan pun mirip dengan yang ada dalam kilasan tadi.

Kim Nam Gil terlihat seperti melamun sambil menatapku. Melihat wajah dan matanya entah kenapa membuat hatiku melambung gembira, tapi juga sakit di saat bersamaan. Tanpa kusadari air mataku sudah menetes. Aku tak mengenalnya. Bahkan tak pernah melihatnya sebelum hari ini. Jadi kenapa aku merasakan campuran emosi aneh ini? Siapa Kim Nam Gil? Siapa pemuda penuh tawa yang ada dalam kilasan pengelihatanku tadi?

Kim Nam Gil mengulurkan tangan kanannya ke arah pipiku, tapi sedetik sebelum menyentuhnya, pemuda itu menarik tangannya lagi yang kemudian dimasukkannya ke dalam saku celananya.

Buru-buru aku menghapus air mataku. Konyol sekali. Untuk apa menangisi orang asing? Bahkan tak ada kejadian menyedihkan sama sekali. Memalukan.

“Ada apa dengan kalian?” tanya dua pemuda lain yang berdiri mengawasi dari balik gerbang sekolah.

Ya, ada apa? Aku sendiri tidak tahu apa yang sedang terjadi.

Kim Nam Gil terbatuk kecil, lalu memasang senyum konyolnya lagi, yang ditujukannya pada kedua pemuda yang barusan bertanya. Aku tidak mengenalnya, tapi menurutku senyumnya itu palsu. Bahkan itu juga bukan senyum mengejek. Entah kenapa, kurasa itu hanya topengnya. Sorot kedua matanya terlihat muram dan sedih, tak sesuai dengan senyumnya.

“Pasti kalian tidak akan mengijinkanku masuk sebelum menandatangani buku absen keterlambatan,” kata Kim Nam Gil ceria. “tapi kalau aku menandatanganinya, maka itu berarti ini kedua kalinya aku masuk daftar hitam kalian bulan ini,” lanjutnya, pura-pura merenung.

“Ya,” desah pemuda berwajah tirus. “Dan bahkan bulan September baru dimulai.”

Kim Nam Gil menyeringai. “Benar sekali, Seung Hyo. Karena itulah, aku tidak mau menandatanganinya,” katanya santai. “Kalau aku menandatanganinya sekarang, berarti aku sudah melakukan dua kali pelanggaran. Bila sampai tiga kali, pasti Paman atau Bibiku akan dihubungi pihak sekolah. Dan itu merugikanku. Sedangkan aku tidak yakin besok aku bisa datang tepat waktu.”

“Begitu? Jadi apa yang akan kau lakukan?” sindir pemuda berwajah datar.

Seringaian di wajah Kim Nam Gil semakin lebar. “Sampai jumpa!” katanya sambil berjalan pergi dan melambaikan tangan dengan santai.

“Nam Gil! Kim Nam Gil!” kedua pemuda itu berteriak memanggilnya, tapi Kim Nam Gil tak menghiraukan mereka dan terus berjalan menjauh.

“Dasar,” geram si pemuda berwajah tirus. “Bagaimana denganmu?”

“Akan kutandatangani,” jawabku langsung. Tapi aku tak bergerak maju sedikitpun. Aku masih berdiri diam memandangi sosok jangkung Kim Nam Gil yang akhirnya menghilang di persimpangan jalan.

“Hei! Kau mau masuk, tidak?”

Aku tersadar dari lamunanku. “Ya. Ya, tentu.”

***

Sabtu, 13 Maret 2010

Fanfic - Reinkarnasi BiDeok - Scene 2

Scene 2

*Bi Dam : Kim Nam Gil *Deokman : Lee Yo Won
*Mi Shil : Go Hyun Jung *Se Jong : Go Young Jae
*Seol Won : Jun Noh Min *Sohwa : Park Young Hee
*Chil Sook : Park Kil Kang *Ha Jong : Go Jun Hyung
*Bo Jong : Go Do Bin *Cheon Myeong : Park Ye Jin

-------------------------------------------------------------------------------

- Kim Nam Gil - 1 September 2010 - Seoul -

“Ini terakhir kalinya aku membantumu!” bentak Go Young Jae, ayah tiriku, saat sarapan pagi. Aku tidak perduli. Dia memang sering marah-marah.

“Benar, Ayah, jangan bantu dia lagi,” dukung Go Jun Hyung, kakak tiriku. “Dia ini kerja-nya buat masalah saja.”

Aku mendelik sambil menyeringai padanya. Aku tahu dia takut padaku. Apalagi bila aku menyipitkan mata sambil menyeringai. Dasar idiot. Apa dipikirnya aku ini titisan iblis? Tapi mungkin juga benar. Bagaimanapun Ayah dan Ibuku bukan contoh orang baik. Ibu kandungku yang sudah menikah dan memiliki dua anak, berselingkuh dengan rekan bisnis suaminya, yaitu Ayah kandungku, yang sebenarnya juga sudah menikah dan memiliki anak.

Mungkin pada awalnya kehadiranku memang diharapkan Ibu, untuk mendapatkan Ayah yang lebih kaya dari suaminya. Tapi setelah aku lahir, Ayah tetap tak bersedia menceraikan istrinya--wanita yang kupanggil Ibu hingga usiaku enam tahun--dan Nyonya Go Hyun Jung pun menganggapku tak lagi berguna baginya. Mungkin aku memang harus bersyukur dulu Ayah mau membawaku ke rumahnya untuk diasuh istrinya, dan bukannya menelantarkanku di panti asuhan.

“Sebenarnya dia terpaksa menghajar anak-anak SMU Haegu,” cetus Go Do Bin, kakak tiriku yang lain. “Mereka yang menyerang Nam Gil ke sekolah kami.”

Bila harus memilih, Do Bin memang sedikit lebih baik daripada Jun Hyung. Mungkin karena dia juga bukan anak kandung Go Young Jae. Dia memang memakai nama keluarga Go, tapi sebenarnya dia anak hasil perselingkuhan Ibu yang lain. Ayah kandungnya, Jun Noh Min, tadinya adalah tangan kanan suami Ibu di perusahaannya, tapi kudengar dari gosip para pelayan, setelah perselingkuhan itu Jun Noh Min dikirim ke cabang perusahaan di Pulau Cheju.

Aku tidak habis pikir dengan sikap dan cara pikir Go Young Jae. Bagaimana bisa dia membiarkan begitu saja tingkah istrinya yang suka menyeleweng? Entah dia begitu mencintai ibuku, atau tak perduli asalkan istrinya dapat menyembunyikan perselingkuhannya dari orang lain. Apapun alasannya, dia sangat tolol. Untuk apa mempertahankan seorang wanita yang tak benar-benar menginginkanmu?

“Aku tak perduli alasannya,” sergah ayah tiriku. “Sekali lagi kami dihubungi kepala sekolahmu, aku akan mengirimmu ke sekolah asrama! Cukup sudah kau mempermalukan keluarga ini.”

Aku mendengus. “Untuk apa perdulikan itu? Sepengetahuan orang lain kau dan Ibu kan hanya paman dan bibiku,” sahutku acuh tak acuh.

“Kau--”

“Sudah, tenanglah, suamiku,” kata Ibu dengan keanggunan dan ketenangannya yang menipu. Penampilannya mungkin seperti malaikat, tapi tidak begitu dengan hati dan pikirannya. “Nam Gil berkelahi karena tak ingin diremehkan dan ingin dihormati oleh lawannya.”

Aku menatapnya curiga. Tak mungkin dia membelaku.

“Tapi, dia tak ingat, bahwa agar dihormati dan tak diremehkan orang lain, maka dia harus mencoba menghormati orang lain juga,” lanjutnya sambil melirikku dan tersenyum dingin. “Cara agar disegani tidak selalu menggunakan ototmu, tapi menggunakan otakmu.”

Aku membalas senyumnya dengan sengit. “Aku berangkat sekarang,” kataku sambil berdiri dan melenggang pergi meninggalkan keluarga bahagiaku.

***

- Lee Yo Won - 1 September 2010 - Seoul -

“Ibu, selamat pagi,” kataku pada foto almarhum Ibu. “hari ini aku akan masuk ke sekolah baru. Doakan aku, ya.”

Ibu terlihat begitu cantik, anggun dan rapuh di foto itu. Sama seperti terakhir kali aku melihatnya. Aku mencoba menahan tangis saat terkenang pada Ibu. Tak lama setelah Ibu membawaku bersembunyi dari Ayah ke rumah Bibi Young Hee di Pusan, Ibu meninggal dunia karena serangan jantungnya. Menurut Bibi Young Hee, sejak kecil jantung Ibu memang lemah. Dan perselingkuhan Ayah dulu begitu mempengaruhi Ibu hingga kondisinya semakin melemah dari waktu ke waktu.

Aku membenci Ayah. Aku juga membenci Bibi Hyun Jung. Dulu aku terlalu kecil untuk mengetahui bahwa yang malam itu kulihat adalah perselingkuhan, tapi sekarang aku sudah tahu yang sebenarnya. Aku membenci mereka. Benar-benar menjijikan. Teganya Ayah berbuat seperti itu pada Ibu yang begitu baik dan setia. Dan yang lebih menjijikan, Ayah bukan berselingkuh dengan wanita tak dikenal, melainkan Bibi Hyun Jung, adik tirinya sendiri! Memang benar mereka tak punya hubungan darah, dan menjadi saudara hanya karena kakekku—ayah dari Ayah—menikah dengan ibu dari Bibi Hyun Jung, tapi tetap saja…

Ayah benar-benar tak perduli padaku dan Ibu. Bahkan setelah kami menghilang, dia tidak mencari kami. Paman Kil Kang pernah mengatakan itu karena Ayah tidak tahu tempat tinggalnya dan Bibi Young Hee yang baru di Pusan, tapi menurutku Paman hanya ingin menenangkanku saja. Kenyataanya Ayah memang tak perduli padaku. Aku bersyukur memiliki paman dan bibi yang begitu baik dan bersedia membesarkanku dengan kasih sayang yang sama seperti yang mereka berikan pada anak kandung mereka sendiri. Dan aku juga bersyukur Ibu sempat berpesan pada Bibi Young Hee agar tidak mengembalikanku pada Ayah setelah dia meninggal. Aku tidak sudi tinggal dengan Ayah.

“Ibu, aku bersumpah,” janjiku serius. “aku akan membalaskan dendam Ibu. Aku akan membalas perbuatan Ayah dan Go Hyun Jung.”

Seminggu yang lalu keluarga Paman dan Bibi pindah ke Seoul karena Paman Kil Kang dipindah ke kantor pusatnya di kota ini setelah dia mendapat kenaikkan jabatan. Awalnya aku sangat tidak menyukainya, karena itu berarti aku akan berada di kota yang sama dengan Ayah, dan lagi berarti aku harus meninggalkan sekolah dan lingkungan yang selama ini kukenal di Pusan. Tapi, setelah dipikirkan, ada bagusnya juga kepindahan ini. Karena berarti aku semakin dekat dengan rencana pembalasan dendamku. Entah bagaimana caranya, aku akan membuat Ayah dan Go Hyun Jung merasakan sakit hatiku dan Ibu.

Kutatap foto Ibu sambil tersenyum. “Aku bersumpah, Ibu. Aku bersumpah.”

***

Fanfic - Reinkarnasi BiDeok - Scene 1

Ini hanya karangan saya sebagai penggemar pasangan Bi Dam - Deokman dalam The Great Queen Seondeok. Tidak ada niatan mengubah cerita film yang sudah ada ataupun merusak cerita itu.

Untuk mempermudah, nama yang digunakan dalam cerita ini adalah nama-nama asli pemain The Great Queen Seondeok. Tapi ada sedikit perbedaan dalam marga karena disesuaikan dengan nama pemeran yang lebih dominan. Maaf bila ada kesalahan dalam penulisan. Terima kasih.

--------------------------------------------------------------------------------

Scene 1

*Bi Dam : Kim Nam Gil *Deokman : Lee Yo Won
*Mi Shil : Go Hyun Jung *King Jinji : Kim Im Ho
*Yong Soo : Kim Jung Chul *Cheon Myeong : Park Ye Jin
*Bo Jong : Go Do Bin *Sohwa : Park Young Hee
*Chil Sook : Park Kil Kang

--------------------------------------------------------------------------------

Yang saling mengenal selamanya terhubung
Terikat rantai takdir
Membelenggu kenangan dan jati diri
Menumbuhkan rasa, pertemukan hati
Masa lalu tak benar berlalu
Masa kini terkait dengan yang lalu



- Kim Nam Gil - 13 Maret 1999 - Seoul -

Katanya aku pembawa sial. Katanya aku tak tahu diri. Katanya aku pembuat onar. Aku mengingatnya. Karena setiap hari itulah yang dikatakannya padaku. Setiap jam. Dan setiap detik bila dia mendapat kesempatan.

Dia bukan ibuku. Tapi dialah satu-satunya ibu yang kukenal. Guruku pernah berkata, tak boleh melawan Ibu dan Ayah. Setiap anak harus menyayangi dan menghormati orangtua. Tapi Ibu tak pernah menyangiku. Dia membenciku.

Plakkk...

Aku sedikit meringis merasakan perihnya tamparan di pipi kananku. Tubuhku terdorong ke belakang dan kepalaku membentur tembok. Sakit. Aku membelalakan mata walau sebenarnya ingin memejamkannya. Kalau mataku terpejam, aku akan menangis. Aku tidak mau menangis. Ibu akan memukulku lebih keras bila dilihatnya aku menangis.

"Cepat minta maaf!" bentak Ibu.

"Tapi aku tidak salah," protesku. Aku tidak bersalah. Ibu marah saat aku meminta ulangtahunku kali ini dirayakan. Padahal semua temanku merayakannya bersama keluarga mereka. Ada kue ulangtahun, balon, dan badut.

"Kau hanya anak haram yang bernasib baik karena bersedia kupungut! Berani-beraninya kau meminta lebih!? Kurang ajar!"

Plakkk...

Kudapatkan satu tamparan lagi. Kali ini membuatku tersungkur di lantai. Aku takut padanya. Dengan kedua tanganku, aku berusaha melindungi kepalaku dari pukulannya. Kepalaku terasa sakit... sudah kutahan, tapi akhirnya aku tetap menangis. Aku memejamkan mata dan meringkuk kesakitan sementara Ibu terus memukuliku.

"Apa-apan ini!?" Itu suara bentakan Ayah. Aku senang Ayah pulang. Ibu tidak terlalu sering memukulku bila ada Ayah dan kak Jung Chul.

"Kenapa Ibu memukuli Nam Gil?" seru kakak.

"Kim Im Ho! Anak harammu ini tidak tahu diri dan kurang ajar!" teriak Ibu pada Ayah. "Aku tidak mau mengurusnya lagi. Serahkan dia pada si jalang Go Hyun Jung!"

Aku ingin berlari memeluk Ayah, tapi tubuhku begitu lemas. Dan semuanya berubah menjadi gelap...


Wanita itu sangat cantik. Tapi pakaiannya seperti baju perang yang kulihat dipakai seorang aktor di film kolosal yang kutonton bersama kakak. Aku tidak mengenalnya. Siapa dia? Kenapa matanya berkaca-kaca? Wanita itu melangkah maju dan memelukku. Pelukannya terasa hangat. Bahkan Ayah tak pernah memelukku begitu. Tak ada yang pernah memelukku seakan benar-benar sayang padaku. Siapa dia? Apakah dia ibuku yang sebenarnya?

Aku mengerjapkan mata saat merasa ada cahaya yang menyorot tajam ke wajahku. Aku membuka mata dan melihat anak laki-laki tak kukenal sedang mengawasiku. Siapa dia? Di mana wanita tadi? Di mana Ayah? Di mana kakak?

"Apa dia sudah sadar, Do Bin?" tanya sebuah suara wanita dari luar kamar tempatku berada sekarang.

"Ya. Dia sudah bangun!" seru anak bernama Do Bin itu.

Seorang wanita cantik memasuki kamar tempatku berbaring. Siapa dia? Dia bukan wanita yang memelukku tadi. Dia juga bukan Ibu.

"Di mana ayahku?" tanyaku.

Wanita itu tersenyum masam. "Di rumahnya," jawabnya. "Mulai sekarang kau akan tinggal di sini."

"Kenapa? Aku mau ayahku!"

"Istrinya tak menginginkanmu," kata wanita itu. "mulai sekarang kau tinggal bersamaku."

Aku takut. Aku marah. "Kenapa?"

"Karena aku ibumu."

***

- Lee Yo Won - 13 Maret 1999 - Pusan -

Pria itu tersenyum lebar. Begitu lebar hingga memamerkan deretan giginya yang putih cemerlang seperti para bintang iklan pasta gigi di TV. Ekspresi wajahnya begitu lucu, membuatku ikut tersenyum. Aku tidak mengenalnya. Dia bukan Ayah. Dia juga bukan pamanku. Aku juga tidak punya kakak laki-laki. Siapa dia?

Pria itu menyodorkan rangkaian bunga berwarna kuning cerah padaku. Tanganku terulur untuk menerimanya, tapi belum sempat aku menerimanya tiba-tiba dia menghilang.

"Yo Won, ayo bangun, kita sudah sampai," Ibu membangunkanku.

"Biarkan dia tidur," kata sebuah suara. "aku akan menggendongnya ke dalam."

Tubuhku terasa diangkat seseorang. Dengan malas aku membuka mata dan melihat wajah Paman Kil Kang yang tersenyum padaku.

"Nah, akhirnya dia terbangun," katanya dengan suaranya yang besar dan berat.

"Kenapa ada Paman?" tanyaku bingung.

"Kau tak ingat? Kita mengunjungi Paman Kil Kang dan Bibi Young Hee-mu, kan?" kata Ibu sambil menarik keluar tas-tas pakaian kami dari taxi.

Sekarang aku ingat. Beberapa hari lalu Ibu mengajakku mengunjungi Paman dan Bibi di Pusan, setelah dia menangis lama sekali di kamarnya.

"Kenapa merengut begitu?" tegur Bibi Young Hee dari ambang pintu rumahnya. Dia mencubit pipiku pelan. "Kau kan lebih manis kalau tersenyum?"

Tapi aku tidak mau tersenyum. Aku marah pada Ayah. Dia yang membuat Ibu menangis. Aku tidak sayang pada Ayah lagi.

Malam itu aku dan Ibu pulang dari berbelanja. Sejak siang kami jalan-jalan dan sekalian mencari baju untuk acara ulangtahunku bulan depan, lalu sesampainya di rumah kami melihat ada mobil Bibi Hyun Jung--adik tiri Ayah--terparkir di depan rumahku. Ibu membawaku ma-suk lewat pintu belakang, lalu langsung ke ruang kerja Ayah. Tapi Ibu tidak jadi masuk saat melihat Ayah sedang mencium Bibi Hyun Jung. Aku tidak mengerti, kenapa Ayah mencium Bibi Hyun Jung? Apa Bibi mengalami mimpi buruk? Biasanya Ayah menciumku bila aku bermimpi buruk.

Aku ingin menyapa mereka, tapi Ibu langsung menarikku menjauh. Di kamarnya Ibu terus menangis. Aku tidak tahu kenapa Ibu menangis. Mungkin Ibu kesal karena Ayah mencium Bibi Hyun Jung, karena sambil menangis Ibu terus bergumam; "…dia menciumnya…"

"Yo Won!"

Aku bergerak-gerak gelisah dalam gendongan Paman Kil Kang saat melihat kak Ye Jin berlari mendatangiku. "Kakak!"

Setelah Paman menurunkanku, kak Ye Jin langsung memelukku, dan aku juga balas memeluknya. Aku selalu menyukai kak Ye Jin. Dia anak Paman Kil Kang dan Bibi Young Hee. Kami sam-sama berumur enam tahun, tapi Ibu menyuruhku memanggil kak Ye Jin kakak karena katanya dia lebih tua beberapa hari dariku.

"Ye Jin, kau tidak keberatan, kan, kalau terpaksa sekamar dengan Yo Won?" tanya Ibu.

Aku dan kak Ye Jin saling bertatapan kemudian menyeringai senang. "Tentu saja tidak. Aku senang sekali!"

"Aku juga! Aku senang sekamar dengan kakak," kataku setuju. "Tapi bagaimana dengan Ayah, Bu? Apa kita tidak pulang ke rumah?"

"Tidak," jawab Ibu dengan suara serak. "Kita tidak pulang. Jangan khawatir, Ayahmu tak akan mencari kita kemari."

***