Minggu, 14 Maret 2010

Fanfic - Reinkarnasi BiDeok - Scene 4

Scene 4

*Bi Dam : Kim Nam Gil *Deokman : Lee Yo Won
*Mi Shil : Go Hyun Jung *Yoo Shin : Uhm Tae Wong
*Cheon Myeong : Park Ye Jin *Alcheon : Lee Seung Hyo
*Bo Jong : Go Do Bin *Seok Poom : Hong Kyung In
*Jook Bang : Lee Moon Shik *Go Do : Ryu Dam
*San Tak : (tetap nama di QSD)

-----------------------------------------------------------------------------

- Kim Nam Gil - 2 September 2010 –

Siapa bilang jalan masuk sekolah hanya gerbang depan? Aku memanjat pagar halaman belakang sekolah sambil tersenyum puas. Apa Uhm Tae wong merasa dirinya pintar? Hah… sudah jelas tak sepintar aku. Kalau aku jadi dia, pasti aku akan menyuruh orang berjaga-jaga di pagar belakang juga.

Mana mungkin aku mau menandatangani absen bodoh itu? Kunci motorku pasti akan ditahan lebih lama oleh si tua Go Young Jae bila dia mendapat pemberitahuan dari kepala sekolah bahwa aku selalu terlambat datang selama tiga hari berturut-turut… atau mungkin nantinya malah lebih.

Hupp… pendaratanku yang berlangsung mulus membuatku menyeringai senang. Setelah mengamati keadaan sekitar, aku buru-buru masuk ke gedung sekolah.

“Perkenalkan, namaku Lee Yo Won,”

Saat semakin dekat dengan ruang kelasku, lagi-lagi aku mendengar suara yang membuat bulu kudukku berdiri. Astaga, jangan bilang kalau…

“Kim Nam Gil!” geram Baek Sung Hoo. Dia guru… Biologiku…? Atau mungkin guru sejarahku…? Atau mungkin juga… “Kim Nam Gil! Sedang apa kau berdiri diam di sana? Kau mau masuk kelas ini atau tidak?”

Sengaja ingin membuatnya kesal, aku masuk sambil tersenyum jail. Si gadis pembuat bulu kudukku berdiri itu menjulurkan kepalanya melewati tubuh besar pak Baek Sung Hoo untuk menatapku. Merasa iseng, aku mengedipkan sebelah mata padanya. Haha… ekspresi wajahnya lucu sekali. Entah dia kaget melihatku bisa masuk sekolah, atau kaget karena aku mengedipkan mata padanya.

Rasa nyeri di dadaku kembali muncul. Berusaha tak menghiraukannya, aku terus berjalan menuju kursiku. Ini keberuntungan, kesialan, atau hanya takdir? Kenapa aku bertemu dengan gadis itu terus?

“Ada dua kursi kosong di kelas ini,” kata guruku itu pada si murid baru. “Tapi demi kebaikanmu sendiri, kusarankan kau duduk di sebelah Ryu Dam saja,” sarannya.

Aku mendengus keras-keras. Biar saja dia mendengar. Dasar gajah tua, dipikirnya aku virus mematikan atau apa? Memangnya kenapa kalau gadis itu memilih kursi kosong di sebelahku?

“Gadis baru itu cantik juga, ya?” kata San Tak padaku dari kursinya yang berada tepat di depanku. Matanya tak lepas memandangi gadis baru yang sedang berjalan menuju kursi di sebelah si gendut Ryu Dam.

Aku mendelik padanya. Entah kenapa aku merasa kesal mendengar San Tak tertarik pada si murid baru. “Lalu kenapa kalau dia cantik? Kau tak mungkin masuk hitungannya.”

San Tak balik mendelik padaku sambil memonyongkan bibirnya. “Aku tidak bermaksud mendekatinya,” protesnya. “Aku hanya mengatakan dia cantik. Apa salah memuji orang?” gerutunya.

Aku pura-pura tak mendengar, dan langsung mengeluarkan sembarang buku dari dalam tasku. Tapi sialnya San Tak tak mau berhenti bicara. “Walaupun misalnya aku tertarik pada gadis itu, tak mungkin aku akan mendekatinya. Tak mungkin aku sengaja mencari masalah denganmu hanya karena berebut seorang gadis.”

Aku membanting bukuku dengan keras. Kutatap wajahnya dengan tajam. “Siapa bilang aku mengincarnya?”

“Eh, yah, kau tak perlu bilang pun aku sudah tahu,” jawabnya gugup. “saat masuk tadi kau mengedipkan mata padanya, lalu barusan kau marah karena aku memuji—“

“Argh! Sudah-sudah, aku tidak mau dengar lagi!” bentakku.

“Bagus!” seru Pak Baek Sung Hoo dari depan kelas. “Bagus sekali! Kalau pelajaranku begitu memuakkan bagimu, seperti aku yang muak melihat tingkahmu, maka keluar saja. Ayo keluar!”

San Tak semakin salah tingkah melihat pelototan marahku padanya. Dasar bodoh. Gara-gara dia aku jadi dapat masalah. Awas saja kau nanti.



“Baiklah, baiklah, aku minta maaf,” mohon San Tak saat jam istirahat. “Tapi salahmu sendiri berteriak padaku saat jam pelajaran.”

“Sudahlah, kau jauh-jauh saja dariku,” desahku kesal. “Moodku sedang tidak bagus sekarang. Kalau tidak mau jadi sasaran kemarahanku, sebaiknya kau pergi saja.”

Benar-benar sial si gajah tua tadi. Padahal aku sudah meminta maaf dan mencoba menjelaskan, tapi dia tidak mau dengar. Dan semakin sial saat dia mendatangi mejaku dan melihat buku yang kubuka di meja adalah buku pelajaran sastra dan bukannya buku kimia, pelajaran yang sedang diajarkannya. Dasar pemarah.

“Oh ya, sore ini akan diadakan balap motor lagi di Inchon. Kau ikut, kan? Kali ini uang-nya lebih banyak,” katanya mengiming-imingiku. “Bukankah katamu ingin menyumbang pada korban gempa di… Indonesia? Tapi belum tercapai karena kau sedang tidak punya uang. Nah, kalau kau menang lagi di lomba kali ini, uangnya lumayan juga. Tapi… tentu saja, sebelum disumbangkan pada Negara lain, kau harus menyumbangkan sedikit untukku dulu,” lanjutnya sambil menyeringai seperti orang bodoh.

Benar. Aku memang berencana memberikan sedikit bantuan ke sana. “Sayangnya motorku sedang disita sekarang,” kataku.

“Apa? Astaga, padahal aku sudah berharap sekali kau bisa menang…”

“Kalaupun aku ikut bertanding dan kemudian menang, apa kau pikir aku akan memberikannya padamu? Yang benar saja.”

“Nam Gil!”

Aku menghentikan langkahku dan memutar tubuh ke arah datangnya suara yang memanggilku tadi. Ternyata Do Bin dan salah seorang sahabatnya, Hong Kyung In.

“Ada apa?” tanyaku dingin.

Do Bin tersenyum. Aku kesal melihatnya tersenyum. Dia jadi terlihat mirip Ibu. “Kami butuh batuanmu.”

“Apa imbalannya?”

Dia melambai-lambaikan sebuah kunci. “Kudengar kau butuh motor? Kau boleh pakai milikku.”

“Sebutkan saja,” perintahku.

***

- Lee Yo Won - 2 September 2010 -

“Yo Won, kau harus hati-hati,” kata Ryu Dam saat kami sedang makan siang di kafetaria. “Jangan dekat-dekat dengan Nam Gil. Dia itu tukang buat onar.”

“Benar. Bila dalam seminggu kau tidak melihatnya berkelahi, itu pertanda kiamat sudah dekat,” sambung Lee Moon Shik.

Aku hanya menanggapi dengan anggukan acuh tak acuh karena mulutku sedang penuh dengan makanan. Aku tidak takut pada Nam Gil hanya karena dia tukang buat onar, tapi aku memang agak kurang nyaman di dekatnya. Setiap di dekatnya aku merasa aneh. Hal-hal tak normal terus saja terjadi bila di dekatnya. Seperti di kelas tadi, saat dia berkedip padaku, tiba-tiba saja aku mendapat kilasan lagi. Dalam kilasan pengelihatanku itu, lagi-lagi ada pria yang sangat mirip dengan Nam Gil. Pria itu keluar dari kegelapan dan tiba-tiba mengedipkan mata kanannya padaku. Gayanya sama persis seperti yang dilakukan Nam Gil saat memasuki kelas. Dan melihat kedua kedipan mata itu membuat jantungku berdebar kencang.

“Ahh… kenyang,” desahku puas saat selesai menelan suapan terakhir.

Seharusnya kak Ye Jin masuk sekolah bersamaku hari ini, tapi kemarin dia terserang flu. Kasihan sekali. Tapi, kalau besok kakak masuk, berarti dia akan duduk di sebelah Nam Gil? Hmm… kak Ye Jin begitu halus dan lembut, dia pasti akan sangat tak nyaman berdekatan dengan orang seperti itu. Tapi aku juga merasa enggan pindah tempat duduk.

Lamunanku terhenti saat seseorang menyentuh bahuku. Si wajah datar yang tadi pagi. Aku baru membuka mulut untuk bertanya ada apa, saat mendapat kilasan pengelihatan lagi. Kali ini aku merasa seperti sedang didekap erat dari belakang. Rasanya hangat dan nyaman. Tapi kali ini bukan pria yang mirip dengan Nam Gil itu yang kulihat, melainkan pria lain. Pria itu berpakaian seperti prajurit jaman dulu dan… anehnya wajah sangat mirip dengan si wajah datar. Apa lagi ini?

“Hei, aku bertanya padamu,” si wajah datar menyadarkanku kembali ke dunia nyata. “Kau kenapa?” tanyanya lagi dengan heran.

“Eh, ah, tidak… tidak apa-apa,” jawabku tergagap. Rasanya sulit berkonsentrasi mencerna perkataannya saat kepalaku sedang dipusingkan dengan kejadian-kejadian aneh yang kualami sejak pagi.

“Aku bertanya, apa ini milikmu?” tanyanya sambil menyodorkan gantungan ponsel berwarna perak dan berbentuk bintang dengan huruf Y di tengah-tengah bintangnya—yang merupakan inisial namaku.

Aku merogoh ke saku rokku dan melihat ponselku memang kehilangan gantungannya. “Ya, itu milikku. Bagaimana bisa ada padamu?” tanyaku.

“Baru saja aku tanpa sengaja menginjaknya. Kau menjatuhkannya,” jawabnya sambil memberikan gantungan itu. “Permisi,” lanjutnya sambil berjalan pergi.

“Nah, yang itu baru pilihan tepat bila kau mencari pacar,” kata Moon Shik sambil tersenyum. “Namanya Uhm Tae Wong. Dia ketua OSIS dan putra kepala sekolah kita.”

“Aku—“

“Atau,” sela Ryu Dam cepat, dengan mulut yang penuh makanan. “kau bisa pilih sahabatnya. Itu, yang baru saja duduk di sebelah kak Tae Wong. Dia wakil ketua OSIS. Namanya Lee Seung Hyo. Dia tegas dan sama bisa diandalkannya dengan ketua OSIS kita.”

“Tapi,” potongku cepat, sebelum mereka mulai bicara lagi. “Aku tidak pernah bilang sedang mencari pacar, kan?”

“Oh, kau sudah punya kekasih? Yah, kami hanya sekedar memberi informasi,” kata Moon Shik. “Asal tahu saja, mereka berdua itu termasuk yang paling populer di kalangan gadis seantero sekolah. Bahkan banyak juga murid perempuan dari sekolah lain yang mengincar keduanya.”

“Aku—“

“Tapi, tapi,” potong Ryu Dam lagi. “Nam Gil juga sangat populer. Dia digilai banyak gadis SMU seantero Seoul. Tentu saja karena dia sering berkeliaran, jadi banyak yang mengenalnya. Walaupun aku heran kenapa bisa ada gadis yang menyukai berandalan sepertinya. Yah, memang wajahnya lumayan juga, kuakui. Apalagi paman dan bibinya sangat kaya.”

“Aku tidak memiliki pacar, dan juga tidak sedang berburu lelaki,” omelku. “Kalian ini suka sekali menyela perkataan orang.”

“Ya, ya, baiklah, mulai sekarang kami akan tutup mulut,” gerutu Moon Shik.

“Benar,” Ryu Dam menyetujui. “Kami tidak akan bicara sepatah kata pun.”

Aku tersenyum masam melihat tingkah mereka yang seperti anak kecil. Dasar. Begitu saja ngambek. Tapi senyumku segera menghilang saat melihat pemuda yang baru saja memasuki kafetaria. Itu… tidak mungkin… itu Go Do Bin!

“Moon Shik… Ryu Dam… itu… siapa dia? Siapa nama anak yang sedang memillih makanan itu?” tanyaku gugup. Hening. Tak ada jawaban.

Moon Shik dan Ryu Dam berpura-pura tak mendengar perkataanku dan dengan sengaja tak mau memandangku.

“Hei!” aku berseru sambil mengguncang tubuh keduanya bergantian. “berhentilah bersikap menggelikan begini. Ayo, jawab aku!”

Kedua teman baruku itu melayangkan pandangan penuh pertimbangan padaku, lalu melirik pemuda yang kukira adalah Go Do Bin.

“Mereka berdua? Itu Go Do Bin dan Hong Kyung In. Mereka—“

Aku tidak mendengar kelanjutan informasi dari Moon Shik. Aku terlalu kalut. Ternyata benar. Ingatanku tidak salah. Dia memang Go Do Bin. Putra kedua Go Hyun Jung. Musuhku dan Ibu.

Hah… film-film itu jelas bohong. Mereka selalu menceritakan orang-orang yang berpisah saat kecil tak akan saling mengenal ketika sudah dewasa. Nyatanya wajah setiap orang tak berubah begitu jauhnya walau mereka beranjak dewasa. Meskipun terakhir kali aku melihat Do Bin saat berumur enam tahun, aku masih mengingatnya. Dia hanya setahun lebih tua dariku. Berarti saat ini dia sudah kelas tiga.

“Kau tertarik pada yang mana? Go Do Bin atau Hong Kyung In?” tanya Ryu Dam. “Tapi kalau menurutku lebih baik dengan Go Do Bin. Walaupun sama sombongnya dengan temannya, tapi dia sangat kaya. Dia kan—“

“Ya ampun, sudahlah,” selaku. “aku tidak mengincar siapa-siapa,” gerutuku. Mengincar Go Do Bin? Yang benar saja. Walaupun seluruh pria di dunia ini punah, dan hanya tersisa putra-putra Go Hyun Jung, aku tak akan memilih mereka. Lebih baik aku menjadi perawan tua hingga akhir hayat. Aku tidak sudi dihubung-hubungkan dengan keturunan Go Hyun Jung. Tidak sudi!

***

Tidak ada komentar:

Posting Komentar