Scene 6
*Bi Dam : Kim Nam Gil *Deokman : Lee Yo Won
*Mi Shil : GoHyun Jung *Se Jong : Go Young Jae
*Yoo Shin : Uhm Tae Wong *Cheon Myeong : Park Ye Jin
*Moon No : Jung Ho Bin *Chil Sook : Park Kil Kang
*Sohwa : Park Young Hee *Yong Soo : Park Jung Chul
*Alcheon : Lee Seung Hyo *Bo Jong : Go Do Bin
*Ha Jong : Go Jung Hyun *Go Do : Ryu Dam
*Yeom Jong : (tetap nama di QSD)
------------------------------------------------------------------------------
- Kim Nam Gil - 3 September 2010 -
Di dalam bus aku dan Do Bin duduk berjauhan. Dia kesal padaku karena kabur bersama Tae Wong dan si gadis baru. Di wajahnya ada luka-luka yang menjadi bukti perkelahiannya kemarin. Selain karena aku meninggalkannya, dia juga kesal karena ditangkap polisi dan saat dia memintaku mengeluarkannya, aku menelepon Ibu untuk meminta bantuan. Semalam dia dimarahi Ibu dan Go Young Jae yang sekarang juga menyita motornya. Begitulah, tanpa kendaraan pribadi, terpaksa kami berdua pergi ke sekolah menggunakan bus.
Hah… aku jadi teringat pada ekspresi mengejek Jung Hyun tadi, saat dia dengan sombongnya memasuki BMW Convertiblenya untuk pergi kuliah. Sial.
Kusandarkan kepalaku di jendela dan menutup mata. Mimpi semalam masih mengganggu pikiranku. Dalam mimpi itu aku dipeluk seorang wanita berpakaian perang dengan sangat hangat. Aku ingat itu adalah mimpi yang pernah kudapat saat masih kecil dulu. Sesaat sebelum aku terbangun di rumah Ibu. Saat itu aku sempat berpikir wanita itu adalah ibu kandungku, tapi ternyata… yah, sekarang aku mengenali wajahnya. Wanita itu adalah wanita yang muncul dalam kilasan pengelihatanku kemarin di sekolah. Dia wanita yang sangat mirip dengan si gadis baru, hanya saja wanita dalam mimpi dan kilasan pengelihatanku itu terlihat lebih dewasa dibanding si gadis baru sekarang.
Kenapa wanita itu terus muncul tak hanya dalam mimpi, tapi juga di benakku saat aku sedang bangun? Siapa dia? Apa hubungannya dengan si gadis baru? Apa hubungan mereka denganku?
“Hei!” Yeom Jong menghempaskan diri di kursi di sebelahku. “Kudengar ada perkelahian seru kemarin? Benarkah? Dan kau tidak membawaku?”
Aku meliriknya kesal. Dia murid kelas tiga seperti Do Bin—umurnya sudah dua puluh tahun—tapi tidak naik kelas beberapa kali. Dia juga satu klub taekwondo denganku di sekolah dan awalnya dia memusuhiku karena aku menjadi murid favorit guru taekwondo kami, Jung Ho Bin. Tapi setelah kukalahkan berkali-kali, dia jadi bertingkah sok akrab dan menjilat. Aku tidak suka padanya, tapi terkadang dia bisa jadi sangat berguna. Dia punya banyak anak buah karena menurut gossip yang beredar, pamannya seorang mafia. Entah itu benar atau hanya bualannya agar banyak yang takut padanya. Yang pasti, sekarang aku sedang tak ingin diganggunya.
“Tak ada urusannya denganmu,” sahutku ketus.
Yeom Jong tertawa sumbang. “Ayolah, jangan kasar begitu. Kita teman, kan?”
Dia semakin menyebalkan saja. Untungnya aku tak perlu menanggapinya karena bus sudah sampai di halte dekat sekolahku. Tanpa meliriknya sedikitpun, aku langsung keluar. Dengan langkah sedikit terburu-buru aku menuju sekolah. Bukan karena takut terlambat—jelas tidak, karena hari ini aku datang tepat waktu—tapi karena dorongan hati ingin cepat sampai di kelas untuk bertemu si gadis baru. Namanya… kemarin dia menyebutkan namanya… siapa ya…? Ah, ya, Lee Yo Won. Yo Won… Yo Won… aku menyeringai geli menertawakan diri sendiri. Kenapa mengingat namanya saja aku jadi senang begini?
“Nam Gil!” Kudengar seseorang meneriakiku. Di depan gerbang sekolah aku berdiri diam mencari sumber suara itu. Kulihat seorang pria bersetelan jas keluar dari sebuah mobil jaguar yang terparkir tak jauh dari depan gerbang.
“Kak Jung Chul!?” seruku tak percaya. Terakhir kali aku melihatnya adalah saat usiaku sebelas tahun. Saat itu dia akan berangkat kuliah ke Amerika.
Kak Jung Chul tersenyum lebar. “Hai, dik, lama tak jumpa,” sapanya.
Aku masih terdiam tak percaya saat dia mendekat, kemudian merangkulku. Dari sudut mataku kulihat Do Bin dan Yeom Jong memperhatikan kami, tapi aku tak perduli. Aku benar-benar terkejut melihat kakak. “Kau pulang? Bukankah dulu di telepon kau mengatakan tak akan pulang karena bekerja di sana?”
Senyum di wajah kakak memudar. “Yah, ya… aku memang bekerja di firma hukum di Amerika,” jawabnya. “aku pulang minggu lalu. Ibu sakit parah dan meninggal,” lanjutnya dengan sedih.
Aku tak tahu harus bersikap bagaimana. Aku tidak bisa berpura-pura sedih dan kehilangan wanita yang sempat kuanggap ibu hingga usiaku enam tahun, tapi selalu menyiksaku setiap kali dia punya kesempatan. Walau begitu aku ikut bersimpati dengan rasa kehilangan kakak. Selama ini kakak bersikap cukup baik padaku. Kami memang tidak terlalu dekat karena perbedaan usia kami yang cukup jauh, tapi dia satu-satunya orang yang cukup perduli padaku saat dulu kami tinggal bersama. Bahkan setelah dia tinggal di Amerika pun, terkadang dia menyempatkan diri meneleponku.
“Aku ikut berduka untukmu,” kataku jujur.
Kak Jung Chul tersenyum masam. “Aku tahu kau membencinya. Aku tidak menyalahkanmu. Apalagi peristiwa terakhir itu… aku minta maaf,” katanya tulus. “Aku tidak mengerti bagaimana ibu yang begitu baik dan penyayang bisa bertindak sangat kejam padamu.”
“Dia menyayangimu karena kau putra satu-satunya. Dia membenciku karena aku putra hasil perselingkuhan suaminya. Itu kenyataannya,” kataku dengan nada pahit.
Kak Jung Chul menumpangkan tangannya di pundakku. “Atas nama Ibu aku meminta maaf padamu. Kurasa dia pun akhirnya menyesali perbuatannya padamu,” katanya sedih. “Sudahlah, tidak usah bicarakan itu. tujuanku kemari adalah untuk mengajakmu pulanglah ke rumah. Ayah membutuhkanmu. Dia semakin tua dan sakit-sakitan, sedangkan aku tak dapat kembali ke Korea hingga beberapa tahun lagi, hingga kontrak kerjaku di Amerika selesai. Pulanglah. Temani dia. Kumohon,” pintanya.
Aku membuang muka sambil mendengus tak sopan. Ayah membutuhkanku? Yang benar saja. Semenjak peristiwa pemukulan istrinya, dan kemudian membawaku ke rumah ibu kandungku, aku tak pernah lagi melihatnya. Aku beberapa kali bertemu kak Jung Chul, tapi tidak dengan Ayah. Dia tak berminat mengunjungiku, juga selalu sibuk bila aku menelepon atau mendatangi kantornya. Aku, putranya, anak haramnya, tak berarti sama sekali baginya. Dia tidak membutuhkanku.
“Aku tahu kau masih marah padanya, tapi pikirkanlah ini. Pulanglah ke rumah. Rumahmu sendiri. Tempatmu sekarang adalah rumah ayah tirimu. Kau akan jauh lebih bahagia di rumah kita,” katanya. Kak Jung Chul melirik jam tangannya. “Aku ada janji dengan temanku. Aku harus pergi. ingat, pikirkan yang kuminta, Nam Gil. Sampai jumpa— ah, astaga, maaf,” katanya pada seorang gadis yang ditabraknya saat dia buru-buru berbalik.
Gadis itu terdorong hingga terjatuh, dan kak Jung Chul segera membantunya berdiri. Anehnya, kemudian kedua orang itu terus berpegangan tangan dan bertatapan tanpa bergerak ataupun bersuara sedikitpun. Mereka terlihat… hah… lucu sekali. Yah, kakak dan gadis itu terlihat seperti aku dan si gadis baru saat pertama kali bertemu.
“Kakak! Kakak tidak apa-apa!?” seru Lee Yo Won panik. Gadis itu berlari mendatangi gadis yang ditabrak kak Jung Chul. Oh, jadi rupanya gadis itu saudara Lee Yo Won?
“Maaf,” gumam kak Jung Chul setelah akhirnya sadar. “Kau tidak apa-apa, kan?”
Wajah kakak perempuan Lee Yo Won terlihat merona merah. Dia menggeleng cepat. “Tidak, tidak. Aku tidak apa-apa.”
Kak Jung Chul tersenyum. “Baiklah kalau begitu, permisi,” katanya. “Aku akan menghubungimu nanti,” tambahnya, yang ditujukan padaku.
Lee Yo Won menatapku, dan dadaku kembali berdebar-debar hingga terasa agak menyakitkan. Berusaha bersikap normal, aku menyunggingkan senyum jailku padanya, lalu berjalan memasuki gerbang sekolah.
Yang mengejutkan, ternyata kakak perempuan Lee Yo Won juga sekelas dengan kami. Dan yang lebih aneh, marga mereka berbeda. Nama gadis itu Park Ye Jin. Mungkin mereka hanya teman akrab dan karena Park Ye Jin sedikit lebih tua dari Lee Yo Won, maka dia dipanggil kakak.
Tadinya kupikir Lee Yo Won akan pindah duduk di sebelahku karena Park Ye Jin menduduki kursi di sebelah Ryu Dam, tapi ternyata Lee Yo Won malah memaksa si gendut itu pindah ke sebelahku. Jujur saja aku jadi agak kesal padanya. Kenapa dia tidak mau duduk di dekatku? Apa dia menganggapku virus mematikan? Apa dia tidak menyukaiku karena aku suka berkelahi? Karena apa? Dan yang lebih menyebalkan adalah diriku sendiri. Kenapa aku harus memusingkan dia benci padaku atau tidak? Biarkan saja gadis itu berbuat sesukanya. Kalau gadis itu ingin menjauhiku, aku juga akan menjauhinya. Itu lebih baik.
Karena sudah membuat keputusan menghindari Lee Yo Won, maka tak heran bila kekesalanku meningkat saat pulang sekolah dan memulai latihan di ruang klub taekwondo, aku melihat gadis yang ingin kuhindari itu. Mau apa dia di sini? Kenapa dia tidak ikut klub lain saja? Kenapa klub ini? Tak bisakah aku terbebas darinya?
Sialnya, karena sedang kesal, dan tak bisa berkonsentrasi—karena dengan bodohnya mataku terus saja tertuju pada Lee Yo Won yang menjadi anggota baru klub ini—maka Seung Hyo berhasil membantingku dengan cepat—dia dan Tae Wong juga anggota klub taekwondo sepertiku dan Do Bin, selain aktif dalam OSIS. Sial. Sambil berdiri mataku melirik Lee Yo Won lagi. Gadis itu sedang mengobrol dengan beberapa gadis yang sudah lama menjadi anggota klub. Suaranya sebenarnya tidak bisa dikatakan merdu, tapi entah kenapa aku suka sekali mendengarnya.
“Nam Gil,” panggil guruku, Jung Ho Bin, saat latihan usai dan aku sedang bersiap untuk pulang.
Hmm, dari nada suaranya aku yakin dia bukan berniat untuk memujiku. “Ya?” sahutku.
Guru Jung melirik Lee Yo Won sekilas sebelum menatapku tajam. “Kau melakukan banyak kesalahan tadi,” katanya datar.
Hah… apa kubilang. “Maafkan aku, guru,” kataku sama datarnya.
“Kau tidak berkonsentrasi,” katanya, mengomentari hal yang sudah jelas. “karena gadis baru itu,” lanjutnya mengagetkanku. Bagaimana guru bisa tahu?
“Aku… aku tidak… bukan karena dia,” protesku. “tadi aku tidak dapat berkonsentrasi karena memikirkan permintaan kakakku.” Yah, itu juga benar. Aku tidak sepenuhnya ber-bohong. Selain karena terus menatap Lee Yo Won, kepalaku sedang dipusingkan dengan permintaan kak Jung Chul.
Guru menatapku tak percaya. “Sebentar lagi akan ada pertandingan. Kalau kau terus tidak bisa berkonsentrasi seperti tadi, kau tidak akan bisa memenangkannya.”
“Maaf, guru,” kataku. “Tak akan terulang lagi. Dalam pertandingan nanti aku pasti akan memenangkannya. Aku berjanji.”
Mulai sekarang aku akan berkonsentrasi pada pertandingan. Aku harus menang dan membuat guru bangga padaku. Lee Yo Won memang tidak baik untuk konsentrasiku. Aku benar-benar harus menjauhinya.
***
- Lee Yo Won - 3 September 2010 -
Aku tidak tahu kalau Nam Gil ternyata anggota klub taekwondo! Dari yang kudengar tentangnya, kupikir dia hanya seorang pembuat onar. Aku berusaha tak menghiraukan kehadirannya, tapi entah kenapa sulit sekali. Berkali-kali, tanpa kusadari mataku sudah tertuju padanya. Apa yang begitu menarik darinya hingga aku tidak bisa melepaskan pandangan dari sosoknya? Dia memang jangkung dan cukup tampan, tapi ada banyak pemuda lain yang masuk kriteria seperti itu dan aku tidak memperhatikan mereka.
Hah… aku sudah berhasil menghindar dari duduk berdekatan dengannya di kelas, tapi kehadirannya masih tetap mengganggu konsentrasiku. Aku bisa saja mengundurkan diri dari klub, tapi aku tidak enak hati pada kak Tae Wong yang sebelumnya kuminta memasukkanku ke klub ini. Lagi pula aku memang tertarik belajar taekwondo, jadi kenapa aku harus keluar hanya karena ada dia?
“Hei, tunggu!” Kudengar seseorang memanggilku saat latihan usai dan aku bersiap menjemput kakak di ruang klub paduan suara. Aku memutar tubuh, dan panik saat melihat Do Bin dan seorang temannya berjalan mendekatiku.
Tadi saat perkenalan diriku pada anggota yang lain, Do Bin belum ada. Dan saat dia datang bersama beberapa temannya, pemuda itu hanya melirikku sekilas dan terlihat tak mengenaliku. Mungkin yang di film-film itu ada benarnya. Mungkin daya ingatku memang kuat, sedangkan Do Bin tidak. Atau mungkin aku banyak berubah setelah sekian lama? Tapi rasanya tidak juga…
“Kau murid baru, ya?” tanya Do Bin. Dia semakin mendekatiku. “Tapi rasanya wajahmu tidak asing,” lanjutnya sambil tersenyum menggoda. Ihhh… dia mau menggodaku? Aku masih ingat wajahnya yang berlepotan es krim cokelat dan kebiasaannya buang angin di depanku dulu. Bukan gaya pria penggoda sama sekali.
“Apa kabar, Do Bin?” sapaku masam. Yah, kenapa harus menghindar? Semakin cepat, semakin baik untuk rencanaku bila mereka tahu aku sudah kembali ke Seoul.
Do Bin terlihat terkejut. “Kau… siapa—“
“Yo Won!” seruan kak Ye Jin memotong pertanyaan Do Bin. Dengan tergesa-gesa kak Ye Jin menghampiriku. “Ibu menelepon dan menyuruh kita cepat pulang. Katanya Ayah akan mengajak kita makan malam di luar.”
Do Bin terlihat semakin terkejut. “Kau… Yo won…? Lee Yo Won?”
“Sampai jumpa,” kataku datar. “Ayo, kak, kita pergi,” ajakku sambil menarik tangan kakak menjauh.
“Seharusnya kau lebih sering membawa kami makan di luar seperti ini,” kata Bibi Young Hee pada Paman Kil Kang. “Jadi aku tidak perlu repot memasak,” godanya.
“Baiklah,” sahut Paman sambil tertawa. “Kita akan lebih sering berjalan-jalan keluar mulai sekarang,” janjinya.
Aku tersenyum melihat cara Paman dan Bibi saling memandang dan tersenyum. Terlihat jelas mereka sangat saling mencintai. Beruntung sekali.
“Bagaimana , apa kalian betah tinggal di Seoul?” tanya Paman padaku dan kakak.
Kak Ye Jin mengangguk. “Aku suka. Rumah dan sekolahnya menyenangkan.”
“Benar,” sahutku, mengiyakan. Walaupun aku merasa agak kurang nyaman dengan Nam Gil, tapi secara keseluruhan semua menyenangkan. “Emm, Paman, apa Paman masih ingat jalan menuju rumahku?” tanyaku.
“Kau ingin mengunjungi rumahmu?” tanya Paman Kil Kang.
Bibi Young Hee langsung terlihat gelisah. “Tapi Yo Won, untuk apa kau ingin ke sana? Ibumu berpesan padaku untuk membesarkanmu, jadi—“
“Young Hee,” sela Paman Kil Kang tenang. “Yo Won bukannya mau pindah ke sana. Dia hanya ingin mengunjungi ayahnya. Tidak salah, kan? Bagaimanapun juga Lee Min Ki adalah ayah kandungnya.”
“Tapi—“
Aku meremas tangan Bibi pelan. “Tenang saja, tidak mungkin aku meninggalkan kalian yang begitu baik dan sayang padaku, hanya untuk pindah ke rumah ayah yang tak perduli padaku?” kataku sambil tersenyum.
“Yo Won—“ desah kak Ye Jin. Dia terus berusaha melunturkan dendamku pada Ayah dan Go Hyun Jung.
“Bagus sayang,” kata Bibi ceria. “ayahmu mungkin bukan orang jahat, tapi dia sudah sangat jahat pada ibumu yang malang. Kasihan sekali dia. Dia lebih dari sahabat bagiku, dia sudah seperti saudariku. Karena itu tak akan kubiarkan ayahmu menyakitimu lagi.”
“Sudahlah, Young Hee,” tegur Paman. “Aku akan mengantarmu, Yo Won. Sebutkan saja kapan kau ingin pergi,” katanya.
“Terima kasih, Paman,” kataku tulus. “Aku ingin ke sana besok.”
- 4 September 2010 -
Rumah itu masih sebesar yang dulu kuingat. Air mataku terasa mendesak ingin keluar, tapi kutahan sebisanya. Halaman depan itu penuh bunga-bungaan yang kuingat dulu ditanam oleh Ibu dengan bantuan tukang kebun kami. Dulu aku dan Ibu sempat bahagia di sana sebelum Ayah mengkhianati kami.
“Kau tidak ingin turun?” tanya Paman lembut.
Aku menggeleng pelan. Setelah sampai di sini aku takut masuk ke rumah itu. aku takut tidak bisa menahan diri melihat barang-barang yang mengingatkanku pada Ibu.
Sebuah mercedes hitam melesat melewati mobil Paman Kil Kang dan berhenti tepat di depan rumahku. Seorang pria paruh baya keluar dari mobil itu. sesaat jantungku seolah berhenti, sebelum kembali berdetak dengan cepat. Ayah.
Ayah terlihat masih sama seperti yang kuingat. Tapi sekarang dia terlihat jauh lebih tua dan lebih kurus. Atau mungkin sejak dulu dia memang begitu? Aku tidak tahu, sudah lama aku tidak melihatnya. Tanpa terasa air mataku sudah menetes. Aku membencinya atas apa yang sudah dilakukannya padaku dan Ibu. Aku yakin aku masih membencinya hingga kini. Tapi ada desakan perasaan lain yang timbul saat melihatnya. Sampai saat ini aku tidak sadar betapa aku merindukannya.
Saat dia menghilang ke dalam rumah, hampir saja aku berlari mengejarnya, tapi kemudian aku ingat perbuatannya padaku dan Ibu. Dan juga ketidak peduliannya padaku. Bila dia memang menyayangiku, pasti dia akan mencariku. Tapi hingga sekarang dia tak pernah berusaha menghubungiku. Tidak pernah.
“Yo Won,” panggil Paman Kil Kang.
“Kita pulang saja, Paman,” kataku dengan suara parau.
Tanpa berkata apa-apa, Paman menuruti permintaanku. Aku menyandarkan kening di kaca jendela mobil dan memejamkan mata. Tiba-tiba terlintas di benakku gambaran seorang pria berpakaian prajurit berwarna hitam sedang tertawa. Pria itu lagi. Pria yang mirip dengan Kim Nam Gil. Kali ini aku tidak merasa terganggu dengan kilasan pengelihatan itu, karena melihat tawa pria itu membuat hatiku terasa hangat dan mengangkat sedikit kesedihanku. Tanpa sadar bibirku sudah membentuk senyum. Siapapun dia, terima kasih.
***
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
hai destira, ini patricia_jesica, haaha... akhirnya aku follow juga blog mu ^^
BalasHapuskalau sempet mampir2 ya ke blog ku ^^
http://chikaerfenn.blogspot.com/
hihihi asyik lebih gampang baca di sini ^^
Patricia?? astagaa..soryy sis, q lama g buka2 nii blog...ru lyat ada commentmuw.. maap yaa!!
BalasHapuslhaa...jadi nama aslimuw yg mana sis?? patricia atoo chika??
yaa, ntar q maen2 ke blogmu.. :)
Wah, ada fic BiDeok laen rupa'na *baru tw saya^^;*.
BalasHapusBagus ff'na, lanjutin donk...*puppy eyes*.
Okehokehokeh.......????
UpDeT ya, plisss....*puppy eyes (again)*.